Blogroll

Kamis, 01 September 2011

Kumpulan makalah Ulum Al-Qur'an Lengkap

DAFTAR ISI ULUMUL QURAN
1. Kata pengantar i
2. Data Nama-Nama Penyusun Makalah ii
3. Daftar isi 1
4. Pendahuluan 2
5. Bab I : Al-Qur’an 3
6. Bab II : ulumul Qur’an 13
7. Bab III : Ilmu Asbabunnuzul 30
8. Bab IV : Al-Makky Al- Madany 34
9. Bab V : Munasabah 43
10. Bab VI : Jam’ Al-Qur’an 51
11. Dftar Pustaka 65
DAFTAR ISI TAFSIR
1. Daftar isi 1
2. Pendahuluan 67
3. Bab I : Pengertian Metodologi Dan Sistematika 68
4. Bab II : Sejarah Perkembangan Metode Tafsir 79
5. Bab III : Penbagian Tafsir 90
6. Bab IV : Tafsir Mawdhu’i............... 95
7. Bab V : Rijal at-Tafasir 102
8. Bab VI : Daftar Pustaka 115






المقدمـــة

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونتوب إليه ونعوذ بالله مـن شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلاّ الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم أما بعد:

فقد أنزل الله على عبده محمد صلي الله عله وسلم القرآن الكريم ليكون للعالمين نذيرا، وجعله خاتمة كتبه، ومهيمنا عليها، وحجة على خلقه، ومعجزة لنبيه محمد صلي الله عله وسلم لهذا تكفل الله بحفظه فقال إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (الحجر: 9) وقال: لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ (فصلت:42) وقال لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآَنَهُ فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ (القيامة: 16-17)، فهيـأ لـذلك الأسبـاب والرجـال يحفظونــه، ويعلمونـه، ويقدمون أنفسهم في سبيل تعليم الناس بعض آيات من القرآن الكريم.






BAB I
AL-QUR’AN
A. Pengertian al-Qur’an
1. Secara Etimologi
Secara etimologi kata al-Qur’an ialah kata masdar dari asal kata qara’a yang artinya “bacaan”. Namun dalam hal ini para ulama berbeda pendapat mengenai lafadz al-Qur’an. Sebagian berpendapat bahwa lafadz al-Qur’an itu tidak dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Quran), sedangkan yang lain mengatakan bahwa lafadz al-Qur’an itu dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Qur’an).
Berikut berbagai pendapat mengenai asal kata lafadz al-Qur’an :
a. Al-Syafi’I, salah seorang imam mazhab yang terkenal (150-204 H.) berpendapat, bahwa kata alqur’an itu ditulis dan dibaca tanpa hamzah (al-Quran, bukan al-Qur’an) dan tidak diambil dari kata lain. Ia adalah nama yang khusus digunakan untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana nama Injil dan taurat yang digunakan khusus untuk kitab-kitab Allah yang diberikan masing-masing kepada Nabi Isa dan Nabi Musa.
b. Al-farra’ seorang ahli bahasa yang terkenal, pengarang kitab ma’anil Qur’an tidak menggunakan hamzah dan diambil dari kata qarain jamak qarinah, yang artinya indikator (petunjuk). Hal ini disebabkan sebagian ayat-ayat al-Qur’an itu serupa satu dengan yang lain, maka seolah-olah sebagian ayat-ayatnya itu merupakan indikator dari yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa itu.
c. Al-Asy’ari seorang ahli Ilmu Kalam, pemuka aliran sunni (wafat 324 H.) berpendapat, bahwa lafal al-Qur’an tidak menggunakan hamzah dan diambil dari kata قًََرَن, yang artinya menggabungkan. Hal ini disebabkan surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an itu dihimpun dan digabungkan dalam satu mushaf.
d. Al-Zajjaj, pengarang kitab Ma’anil Qur’an (wafat 311 H.) berpendapat, bahwa lafal al-Qur’an itu berhamzah, berwazan Fu’lan, dan diambil dari kata القَرَءُ, yang artinya penghimpunan. Hal ini disebabkan al-Qur’an merupakan kitab suci yang menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab-kitab suci sebelumnya (perhatikan S. Al-Bayyinah: 2-3).
e. Al-Lihyani, seorang ahli bahasa (wafat 215 H.) berpendapat, bahwa lafal al-Qur’an itu berhamzah, bentuk masdar dan diambil dari kata قَرَاءَ, yang artinya membaca. Hanya saja lafal al-Qur’an ini menurut Al-Lihyani adalah masdar bi ma’na isim maf’ul. Jadi, Qur’an artinya maqru’ (dibaca).
f. Dr. Subhi al-Salih, pengarang kitab Mabahits fi Ulumil Qur’an mengemukakan, bahwa pendapat yang paling kuat adalah lafal al-Qur’an itu masdar dan sinonim (muradif) dengan lafal qira’ah, sebagaimana yang tersebut dalam surat al-Qiyamah ayat 17-18 :
•      • 
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.”
g. Beberapa orientalis, antara lain G. Bergstaesser berpendapat, bahwa bahasa Armia, Abessynia dan Persia tidak sedikit pengaruhnya terhadap perbendaharaan bahasa Arab, karena bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa-bahasa dari bangsa-bangsa yang bertentangga dengan bangsa Arab dan mereka adalah bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya beberapa abad sebelum Islam lahir.
Demikian pula Krenkow (dalam Encyclopedia de ‘Islam, art. Kitab II, p 1104) dan Blachere (dalam bukunya, Le Coran, Introduction, p. 5) bahwa bangsa Arab telah menggunakan beberapa kata yang berasal dari bahasa Armia, Suryani dan Hedbrow. Demikian pula didalam al-Qur’an, terdapat kata-kata yang berasal dari bahasa asing tersebut. Diantara kata-kata asing tersebut menurut Blachere adalah :
كِتَابٌ , فُرْقاَنٌ ,قَيُّوْم ,ٌ dan juga lafal قَرَاءَ, berasal dari bahasa armia yang mempunyai arti membaca. Sedang lafal قَرَاءَ, semula di gunakan oleh bangsa Arab untuk arti binatang yang mandul (tidak bisa bunting dan tidak bisa beranak).

2. Secara Terminologi
Beberapa definisi tentang al-Qur’an telah dikemukakan oleh beberapa ulama dari berbagai keahlian dalam bidang bahasa, Ilmu Kalam, Ushul Fiqh dan sebagainya. Definisi-definisi itu sudah pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya, karena Stressing (penekanan)nya berbeda-beda, disebabkan perbedaan keahlian mereka.
Sehubungan dengan itu, Dr. Subhi al-Salih merumuskan definisi al-Qur’an yang dipandang sebagai definisi yang dapat diterima para ulama, terutama ahli bahasa, ahli Fiqh, dan ahli Ushul Fiqh.
َاْلقُرْأَنُ هُوَالْكِتاَبُ اْلمُعْجِزُاْلمُنَزَّلُ عَلىَ النًّبِىِّ ص.م.اْلمَكْتُوْبُ فِى اْلمَصَاحِفِ اْلمَنْقُوْلُ عَلَيْهِ بِالتَّوَاتُرِ اْلمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ.
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang bersifat (berfungsi) mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis didalam mushaf-mushaf, yang dinukil (diriwayatkan) dengan jalan mutawattir, dan yang membacanya di pandang ibadah.”
Selain definisi yang dikemukakan oleh Dr. Subhi al-Salih, ada pula yang mendefinisikan bahwa “Al-quran adalah kalamullah (wahyu) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai mukjizat melalui perantara malaikat jibril dengan secara mutawattir dan bernilai ibadah bagi yang membacanya.”
B. Hal-hal yang Terkait Dengan Al-Qur’an
1. Wahyu
Menurut bahasa, ialah memberitahukan sesuatu dengan cara samar dan cepat. Sedangkan menurut istilah, wahyu adalah pemberitahuan Tuhan kepada Nabi-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar, tetapi meyakinkan kepada Nabi/Rosul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya adalah benar-benar dari Allah sendiri.
Penjelasan secara samar dan sekilas tentang penyebutan “Wahyu” itu tidak jauh maknanya dari pengertian bahasa yang ada pada akar kata wahyu dan iihaa (mewahyukan). Diantara maknanya ialah ilham fitriyah (naluriyah) bagi manusia.
“Dan kami wahyukan (ilhamkan) kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, Karena Sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari para rasul”.(al-Qashash:7)
Ada juga makna wahyu yang berupa isyarat dalam bentuk lambang dan petunjuk, yaitu sebagaimana firman Allah mengenai Nabi Zakariya AS.:
“Maka ia (Nabi Zakariya) keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu mewahyukan (yakni memberi isyarat) kepada mereka: hendaklah kalian bertasbih pagi dan sore”. (Maryam, 11).
Kata “wahyu” juga digunakan oleh penyair, misalnya:
Ia kupandang sekilas sehingga aku terpesona beberapa detik memikirkan keindahan sifatnya. Kepadanya mataku mewahyukan (mengisyaratkan) kecintaanku sehingga wahya ( isyarat) itu membekas pada pipinya.
Bisikan syetan dan rayuannya mengajak manusia berbuat kejahatan pun oleh Al-Qur’an dijelaskan dengan menggunakan lafadz “wahyu”
“Dan Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka saling mewahyukan (membisikkan) kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (al-An’am:112)
Lafadz wahyu juga digunakan untuk menyebut firman Allah yang berupa perintah pada para malaikat supaya mereka melaksanakannya seketika itu juga.
“(ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang Telah beriman". (al-Anfaal:12).
Allah telah menerangkan dalam al-Qur’an tentang cara pemberitahuan yang dikehendaki Tuhan kepada Nabi-Nya.
       •               
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Berdasarkan ayat tersebut, maka wahyu itu ada tiga macam :
1) Pemberitahuan Tuhan dengan cara ilham tanpa perantaraan.
2) Mendengar firman Allah dibalik tabir.
3) Penyampaian wahyu Tuhan dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. yang didalam al-Qur’an di sebut “al-Ruhul Amin”. Ini ada dua macam :
a) Nabi dapat melihat kehadiran Malaikat Jibril a.s., dan dalam hal ini ada dua macam pula, yakni
Pertama : Malaikat Jibril a.s. dilihat dalam bentuknya yang asli, tetapi ini jarang sekali terjadi.
Kedua : Malaikat Jibril a.s. menjelma sebagai manusia. Dia juga pernah menjelma sebagi seorang laki-laki bernama Dahyah bin Khalifah.
b) Nabi tak melihat Malaikat Jibril ketika menerima wahyu, tetapi beliau mendengar pada waktu kedatangan malaikat itu suaranya seperti suara lebah atau gemerincing bel.
2. Perbedaan al-Qur’an dengan Hadits dan Hadits Qudsi
wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad itu ada dua macam, al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi.
Adapun perbedaan antara ketiganya adalah sebagai berikut :
a). Perbedaan antara al-Qur’an dengan Hadits
1)Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa dan maknanya dariAllah 1)Hadits diturunkan dengan maknanya saja dari Allah, sedangkan lafdznya dari Nabi.
2)Al-Qur’an tidak boleh diriwayatkan dengan maknanya saja, sebab dapat mengurangi atau menghilangkan mukjizat al-Qur’an sendiri. 2)Hadits boleh diriwayatkan dengan maksudnya saja. Sebab yang terpenting dalam hadits qudsi adalah penyampaian maksudnya.
3)Al-Qur’an, baik lafadz maupun maknanya merupakan mukjizat. 3)Hadits bukan merupakan mukjizat.
4)Al-Qur’an diperintahkan untuk dibaca, baik pada waktu sholat atau diluar sholat sebagai ibadah, baik orang yang membacanya itu mengerti maksudnya atau tidak. 4) Hadits tidak diperintahkan untuk dibaca sebagai ibadah. Yang terpenting dalam hadits adalah untuk dipahami, dihayati, dan diamalkan.
5)Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi dalam keadaan sadar. 5)Hadits diturunkan dengan bermacam-macam cara, sebagaimana diterangkan dalam surat al-Syura: 51


b). Perbedaan antara al-Qur’an dengan Hadits Qudsi
Dalam hal ini ada dua pendapat:
a. Pendapat pertama mengatakan, bahwa hadits qudsi termasuk firman Allah, bukan sabda Nabi, tetapi Nabi hanya menceritakan saja, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1) Hadits qudsi selalu disandarkan kepada Allah.
2) Hadits qudsi selalu memuat dlomir mutakalim yaitu “Anaa”, “Nahnu” dan dalam hal ini yang dimaksudkan adalah Allah sendiri.
3) Bahwa sanad hadits qudsi itu tidak hanya berakhir pada Nabi tetapi sampai kepada Allah melalui Nabi; Sedangkan sanad hadits Nabawi (hadits biasa) hanya sampai kepada Nabi.
Menurut pendapat ini, meskipun hadits qudsi itu termasuk firman Allah, tetapi tidak mempunyai status yang sama dengan Al-Qur’an, kerena Al-Qur’an diterima secara mutawattir, sedang hadits qudsi seperti keadaan hadits-hadits nabawi lain, pada umumnya diterima secara Ahad (perorangan).
b. Pendapat kedua menyatakan, bahwa hadits qudsi itu lafadznya dari Nabi sendiri, seperti hadits-hadits Nabi lainnya.
Yang berpendapat demikian, antara lain Abu al-Baqa’ dan al-Thibi, Abu al-Baqa’ berkata: “ Al-Qur’an adalah yang maknanya dan lafadznya dari Allah dengan wahyu yang jelas. Adapun hadits qudsi adalah yang lafadznya dari Nabi, sedangkan maknanya dari Allah dengan jalan ilham atau impian.”
Sedangkan menurut al-Thibi: “ Al-Qur’an adalah lafadz yang diturunkan oleh malaikat Jibril dari Allah kepada Nabi. Adapun hadits qudsi adalah sesuatu yang dikehendaki oleh Allah untuk disampaikan dengan jalan melalui ilham atau impian, kemudian Nabi memberitahukan kepada umatnya dengan bahasa sendiri. Sedangkan hadits-hadits lain tidak di sandarkan kepada Allah dan tidak diriwayatkan dari Allah.”
3. I’jazul Qur’an
Mukjizat, menurut imam As-Suyuti dalam bukunya al- Itqan Fi Ulumil Qur’an adalah sesuatu di luar kebiasaan yang disertai dengan adanya tantangan. Sedangkan menurut Dr. Muhammad Quraish Shihab, sesuatu dinamakan mukjizat apabila memenuhi empat unsyur, yaitu :
 Suatu hal yang ada diluar kebiasaan.
 Nampak pada diri seorang Nabi.
 Disertai dengan adanya tantangan.
 Sesuatu yang tidak sanggup ditantang orang.

Mukjizat al-Qur’an dapat dilihat dari dua segi :
1). Dari segi bahasa, ulama sepakat bahwa al-Qur’an memiliki uslub (gaya bahasa) yang tinggi, fasahah (ungkapan kata yang jelas), dan balaghah (kepasihan lidah) yang dapat mempengaruhi jiwa pembacanya dan yang mendengarkannya yang mempunyai rasa bahasa arab yang tinggi.
Selain dari pada itu, al-Qur’an, dimana orang arab lumpuh untuk menandinginya itu, sebenarnya tidak keluar dari aturan-aturan kalam mereka, baik lafazd, huruf maupun redaksinya. Tetapi al-Qur’an memiliki jalinan huruf-huruf yang serasi, ungkapannya indah, redaksinya simpatik, ayat-ayatnya teratur, serta memperhatikan situasi dan kondisi dalam berbagai macam bayannya, baik dalam jumlah ismiyah dan fi’liyahnya, dalam nafi’ dan isbatnya, dalam dzikr dan hadzfnya dalam tankir dan ta’rifnya, dalam taqdim dan takhirnya, dalam ithnab dan ijaznya, dalam umum dan khususnya, dalam mantuq dan mafhumnya, dalam nash dan fahwanya maupun dalam hal lainnya.
2). Dari segi kandungan isi, mukjizat al-Qur’an dapat dilihat dari tiga aspek :
a. Merupakan isyarat ilmiah.
b. Merupakan sumber hukum.
c. Menerangkan suatu ibrah (teladan) dan kabar gaib, baik yang terjadi pada masa lalu, sekarang maupun yang akan datang.
4. Mutawattir
Al-Qur’an adalah yang telah dinukilkan secara mutawattir dari generasi ke generasi hingga terjaga keabsahan dan kemurniannya. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah saw: "Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan Zikr[Al-Qur'an] dan Kami pula yang senantiasa menjaganya.
Mutawatir menurut bahasa berasal dari kata al-Witr alias yang bersambung, dan menurut istilah fiqih Mutawatir adalah : hal yang dinukilkan dari sekelompok /generasi ke kelompok/ generasi lain yang tidak ada kemungkinan kerjasama antara mereka untuk menukilkan suatu kebohongan atau pendustaan. Hal-hal yang berasal dari sumber mutawatir merupakan hal yang telah terjamin keabsahan dan kemurniannya.
Macam-macam mutawatir adalah:
(a) mutawatir dari Sejak diterima oleh rasulullah saw hingga menyampaikannya tanpa melebihi ataupun mengurangi dari padanya
(b) mutawatir secara tilawahnya, alias dari sejak para sahabat menerima tilawahnya dari rasulullah saw ketika menyampaikannya hingga saat ini dinukilkan dari generasi ke generasi tanpa melebihi ataupun mengurangi
(c) qur'an diturunkan dengan 7 macam qira'at yang telah disampaikan rasulullah saw langsung dengan ketujuh macam qira'at tersebut kepada 7 tujuh tempat dimana masing-masing memiliki penyebutan huruf yang sedikit berbeda dengan tempat lain.hal demikian sebagaimana diterangkan oleh rasulullah saw yaitu untuk memudahkan bagi hamba-hambaNya dalam tilawah
(d) mutawatir dalam penukilannya sejak masa rasulullah saw hingga dibukukan dalam satu mushaf yang kita kenal sekarang ini.
Hal-hal yang memudahkan kelangsungan dan mutawatirnya al-qur'an yaitu:
1. Al-qur'an diturunkan secara berangsur-angsur hingga memudahkan dalam proses pembukuannya
2. Wahyu yang diterima oleh rasulullah langsung disampaikkannya kepada sahabatnya yang sedang berada dimajlis bersamanya. Hal demikian memudahkan dalam penghapalan secara lisan
3. Pengulangan al-qur'an yang dilakukan oleh rasulullah setiap tahunnya bersama malaikat jibril yaitu tepatnya pada bulan ramadhan. Bahkan pada tahun kewafatan rasulullah saw beliau mengulang hapalannya bersama malaikat jibril dua kali bukan sekali sebagaimana biasanya.

5. Bernilai ibadah
Membaca al-qur’an didalam ajaran islam dinilai sebagai ibadah, orang yang membacanya dijanjikan pahala disisi Allah.
Adapun pahala orang yang membaca al-Qur’an itu berbeda-beda. Menurut Ali bin Abu Thalib, pahala orang yang membaca al-Qur’an didalam salat adalah 50 kebajikan untuk tiap-tiap hurufnya, 25 kebajikan untuk tiap-tiap huruf yang dibaca diluar salat tetapi dalam keadaan suci (mempunyai wudhu), dan 10 kebajikan untuk tiap-tiap huruf yang dibaca diluar solat dan tidak mempunyai wudhu.
Pahala tidak hanya diberikan kepada orang yang membacanya saja, namun bagi orang yang mendengarkannya pun mendapatkan pahala di sisi Allah. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa pahala yang di terima oleh orang yang mendengarkan itu sama dengan pahala orang yang membacanya.












BAB II
ULUMUL QURAN
A. Pengertian Ulumul Qur’an
Ungkapan Ulumul Qur’an berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata Ulum dan Al-Qur’an. Kata Ulum adalah bentuk plural dari kata Ilm. Ilmu sendiri al-fahmu wa al-idrak (pemahaman dan pengetahuan). kata Ulum yang disandarkan pada Al-Qur’an telah memberi pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya. dengan demikian Ilmu al-Tafsir, Ilmu al-Qiraat,Ilmu i’jazu al-Qu’ran, Ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari Ulumul Qur’an.
Sedangkan definisi Ulumul Qur’an menurut terminologi, para ulama memberikan redaksi yang berbeda-beda sebagaimana dijelaskan berikut ini.

1. Menurut Manna’ Al-Qaththan.


العلم الذي يتناول الابحاث المتعلقة بالقران من حيث معرفة اسبا ب النزول وجمع القران وترتيبه ومعرفة المكي والمدني والناسخ والمنسوخ والمحكم والمتشابه إلى غير ذلك مماله صلة بالقران.
Artinya:
“Ilmu yang mencakup pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an dari sisi informasi tentang asbab an-nuzul (sebab-sebab turunnya Al-Qur’an), kodifikasi dan tertib penyausunan Al-Qur’an, ayat-ayat yang diturunkan di Makkah(Makkiyah) dan ayat-ayat yang diturunakan di Madinah(Madaniyah) dan hal-hal yang bekaitan dengan Al-Qur’an .”

2. Menurut Az-Zarqani.

مباحث تتعلق بالقران الكريم من ناحية نزوله وترتيبه وجمعه وكتابته وقراءته وتفسيره وإعجازه وناسخه ومنسوخه ودفع الشبه عنه ونحو ذلك


Artinya:
“Beberapa pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an dari sisi turun, urutan penulisan, kodifikasi, cara membaca, kemukjizatan, nasikh, mansukh, penolakan hal-hal yang dapat menimbulkan keraguan terhadapnya serta hal lainnya.”

3. Menurut Abu Syahbah.

علم ذو مباحث تتعلق بالقران الكريم من حيث نزوله وترتيبه وكتابته وجمعه وقراءته وتفسيره وإعجازه وناسخه ومنسوخه ومحكمه ومتشابهه إلى غير ذلك من المباحث التي تذكر في هذا العلم .

Artinya:
“Sebuah ilmu yang memiliki banyak obyek pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an, mulai dari proses ppenurunan, urutan penulisan, penulisan, kodifikasi, cara membaca, penafsiran, kemukjizatan, nasikh-mansukh, mukhkam-mutasyabih, serta pembahasan lainnya.”

Dari definisi-definisi Ulumul Quran di atas, kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa Ulumul Quran adalah suatu ilmu yang lengkap dan mencakup semua ilmu yang ada hubungannya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu tafsir,maupun berupa ilmu-ilmu bahasa Arab, misalnya ilmu I’rabil Quran.


B. Ruang lingkup pembahasan Ulumul Quran.
Banyaknya ilmu yang ada kaitannya dengan pembahasan Al-Quran , menyebabkan banyak pula ruang lingkup pembahasan Ulumul Quran. bahkan menurut Abu Bakar Al-Arabi, ilmu-ilmu Al-Quran itu mencapai 77.4500. hitungan ini di peroleh dari hasil perkalian jumlah kalimat Al-Quran dengan empat kerena tiap-tiap kalimat mempunyai empat makna , yaitu zhahir, batin, hadd, dan mathla. Jumlah itu semakin bertambah jika melihat urutan kalimat-kalimat di dalam Al-Quran serta hubungan di antara urutan-urutan itu. Jika sisi itu yang dilihat, ruang lingkup pembahasan Ulumul Quran tidak dapat dihitung (tak terhingga) lagi.

Berkenaan dengan persoalan ini, M. Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa ruang lingkup pembahasan Ulumul Quran terdiri atas enam hal pokok berikut ini.

1. Persoalan turunnya Al-Quran(nuzul Al-Quran)
Persoalan ini menyangkut tiga hal:
a. Waktu dan tempat turunya Al-Quran (auqat nuzul wa mawathin an-nuzul).
b. Sebab-sebab turunya Al-Quran (asbab an-nuzul), dan
c. Sejarah turunya Al-Quran(tarikh an nuzul)
2. Persoalan sanad (rangkaian para periwayat)
Persoalan ini menyangkut enam hal:
a. Riwayat mutawatir
b. Riwayat ahad
c. Riwayat syadz
d. Macam-macam qira’at Nabi
e. Para perawi dan penghafal Al-Quran,dan
f. Cara menyebarkan riwayat (tahammul).

3. Persoalan qira’at(cara pembaca Al-Quran)
Persoalan menyangkut hal-hal berikut ini:
a. Cara berhenti (waqaf)
b. Cara memulai (ibtida’)
c. Imalah
d. Bacaan yang dipanjangkan (mad)
e. Bacaan hamzah yang diringankan, dan
f. Bunyi huruf yang sukun dimasukan pada bunyi sesudahnya (idgam)
4. Persoalan kata-kata Al-Quran
Persoalan ini menyangkut beberapa hal berikut ini:
a. Kata-kata Al-Quran yang asing (gharib)
b. Kata-kata Al-Quran yang berubah-ubah harakat akhirnya (mu’rab)
c. Kata-kata Al-Quran yang mempunyai makna serupa (homonim)
d. Padanan kata-kata Al-Quran (sinonim)
e. Isti’arah, dan
f. Penyerupaan (tasybih)
5. Persoalan makna Al-Quran yang berkaitan dengan hukum
Persoalan ini menyangkut beberapa hal berikut ini:
a. Makna umum (‘am) yang tetap dalam keumumanya,
b. Makna umum (‘am) yang di maksudkan makna khusus,
c. Makna umum (‘am) yang maknanya di khususkan sunah.
d. Nash
e. Makna lahir
f. Makna global (mujmal)
g. Makna ynag diperinci (mufashshal)
h. Makna yang ditunjukkan oleh konteks pembicaraan (manthuq)
i. Makna yang dapat dipahami dari konteks pembicaraan (mafhum)
j. Nash yang petunjuknya tidak melahirkan keraguan (muhkam)
k. Nash yang muskil diinterpretasikan karena terdapat kesamaran di dalamnya (mutasyabih)
l. Nash yang maknanya tersembunyi kerena suatu sebab yang terdapat pada kata itu sendiri (musykil)
m. Ayat yang “menghapus” dan yang “dihapus” (nasikh-mansukh),
n. Yang di dahulukan (muqaddam),dan
o. Yang diakhirkan (mu’akhakhar)
6. Persoalan makna Al-Quran yang berpautan dengan kata-kata Al-Quran
Persoalan ini menyankut hal-hal berikut ini:
a. Berpisah (fashal)
b. Bersambung (washal)
c. Uraian singkat (i’jaz)
d. Uraian panjang (ithnab)
e. Uraian seimbang (musawah)
f. Pendek (qashr)

C. Cabang-cabang (Pokok bahasan) Ulumul Quran
Di antara cabang-cabang (pokok bahasan) Ulumul Quran adalah sebagai berikut:
1) Ilmu Adab Tilawat Al-Quran, yaitu ilmu-ilmu yang menerangkan aturan pembacaan Al-Quran.
2) Ilmu Tajwid, yaitu ilmu yang menerangkan cara membaca Al-Quran , tempat memulai, atau tempat berhenti (waqaf).
3) Ilmu Muwathim An-Nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan tempat, musim, awal, dan akhir turunnya ayat.
4) Ilmu Twarikh An-Nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan dan menjelaskan masa dan urutannya ayat, satu demi satu dari awal hingga yang terakhir turun.
5) Ilmu Asbab An-Nuzul, yaitu ilmu-ilmu yang menerangkan sebab-sebab turunnya ayat.
6) Ilmu Qira’at, yaitu ilmu yang menerangkan ragam qira’at (pembacaan Al-Quran) yang telah diterima Rasulullah SAW. Apabila dikumpulkan, qira’at ini terdiri atas sepuluh macam, ada yang sahih dan ada pula yang tidak sahih.
7) Ilmu Gharib Al-Quran, yaitu ilmu yang menerangkan makna kata-kata ganjil yang tidak terdapat dalam kitab-kitab konvensional, atau tidak terdapat dalam percakapan sehari-hari. Ilmu ini menerangkan kata-kata yang halus, tinggi, dan pelik.
8) Ilmu I’rab Al-Quran, yaitu ilmu yang menerangkan harakat Al-Quran dan kedudukan sebuah kata dalam kalimat.
9) Ilmu Wujuh wa Al-Nazha’ir, yaitu ilmu yang menerangkan kata-kata Al-Quran yang mempunyai makna lebih dari satu.
10) Ilmu Ma’rifat Al-Muhkam wa Al-Mutasyabih, yaitu yang menerangkan ayat-ayat yang dipandang muhkam dan yang dipandang mutasyabih.
11) Ilmu Nasikh wa Mansukh, yaitu ilmu yang menerangkan ayat-ayat yang nasikh dan ayat yang mansukh oleh sebagian mufassir
12) Ilmu Badai’u Al-Quran, yaitu ilmu yang menerangkan keindahan susunan bahasa Al-Quran.
13) Ilmu I’jaz Al-Quran, yaitu ilmu yang menerangkan segi-segi kekuatan Al-Quran sehingga dipandang sebagai suatu mukjizat dan dapat melemahkan penantang-penantangnya.
14) Ilmu Tanasub Al-Quran, yaitu ilmu yang menerangkan persesuaian antara suatu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
15) Ilmu Aqsam Al-Quran, yaitu ilmu menerangkan arti dan makna Al-Quran, yakni menerangkan ayat-ayat perumpamaan yang dikemukakan Al-Quran.
16) Ilmu jadal Al-Quran, yaitu ilmu yang menerangkan berbagai perdebatan yang telah dihadapkan Al-Quran kepada segenap kaum musyrikin dan kelompok lainnya.




D. Perkembangan Ulumul Quran
1. face sebelum kodifikasi(qabl ‘ ashr at-tadwin)
pada face sebelum kodifikasi, Ulumul Quran telah dianggap sebagai benih yang kemunculannya sangat dirasakan sejak masa Nabi, Hal itu di tandai dengan kegairahan para sahabat untuk mempelajari Al-Quran dengan sungguh-sungguh. terlebih lagi di antara mereka, sebagaimana dicerikan oleh Abdurrahman As-Sulami, memilki kebiasaan untuk tidak berpindah kepada ayat lain, sebelum memahami dan mengamalkan ayat yang sedang dipelajarinya. nampaknya, itulah yang menyebabkan Ibn Umar memerlukan waktu delapan tahun hanya untuk menghafal surat Al- Baqarah
Kegairahan para sahabat untuk mempelajari dan mengamalkan Al-Quran nampaknya lebih kuat lagi ketika Nabi hadir di tengah- tengah mereka. Hal inilah yang kemudian mendorong Ibn Taimiyyah untuk mengatakan bahwa Nabi sudah menjelaskan apa-apa yang menyangkut penjelasan Al-Quran kepada para sahabatnya. Riwayat di bawah membuktikan adanya penjelasan Nabi kepada para sahabat meyangkut penafsiran Al-Quran:
a) Riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad, Tirmidzi, dan yang lainnya dari ‘Adi bin Hayyan. Ia berkatabahwa Rasulullah SAW. Pernah bersabda:
إن المغضوب عليهم : هم اليهود , وإن الضالين : هم النصا رى .
Artinya :
“Yang dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai Allah adalah orang-orang Yahudi, sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang tersesat adalah orang-orang Nasrani.”

b) Riwayat yang disampaikan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim, dan yang lainnya dari Ibnu Mas’ud yang menceritakan tatkala turunnya ayat:

الذين امنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم
Artinya:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik).”

Para sahabat merasa kebingungan dan bertanya kepada Rasulullah, “siapa di antara kami yang tidak pernah menzalami diri sendiri?” Beliau menjawab, “Hai itu bukan seperti yang kalian kira. Bukankah kalian pernah mendengar perkataan Luqman Al-Hakim bahwa kemusyrikan itu merupakan kezaliman yang besar? Itulah maksudnya.”

Riwayat penafsiran dan ilmu Al-Quran yang diterima oleh para sahabat dari Nabi itu kemudian diterima oleh para tabi’in dengan jalan periwayatan.
Dapat dijelaskan di sini bahwa para perintis Ulumul Quran pada abad I (atau sebelum kodifikasi) adalah sebagai berikut:
a. dari kalangan sahabat: Khulafa Al-Rasyidin, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Zaid Bin Tsabit, Ubai Bin Ka’ab, Abu Musa Al- Asy’ Ari, Dan Abdullah Bin Zubair.
b. Dari kalangan tabi’in: Mujahid, Atha’ Bin Yasar, ‘Ikrimah , Qatadah, Al-Hasa Al-Bashri, Sa’id Bin Jubair, Zaid Bin Aslam.
c. Dari kalangan tabi’ tabi’in: Malik Bin Anas.
Periode sebelum kodifikasi sekaligus menjelaskan perkembahan Ulumul Quran pada abad I H.

2. Fase kodifikasi
Sebagaimana diketahui, pada sebelum kodifikasi, Ulumul Quran dan ilmu-ilmu lainnya belum dikodifikasikan dalam bentuk kitab atau mushaf. Satu-satunya yang sudah dikodifikasikan saat itu hanyalah Al-Quran. Hal itu terus berlangsung sampai ketika Ali Bin Abi Thalib memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Du’ali untuk menulis ilmu nahwu, perintah inilah yang membuka gerbang pengodifikasian ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Pengodifikasian itu semakin marak dan meluas ketika islam berada di bawah pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah pada periode-periode pemerintahannya.
a. Perkembangan Ulumul Quran abad ke II H
Pada masa penyusunan ilmu-ilmu agama yang dimulai sejak permulaan abad II H, para ulama memberikan prioritas atas penyusunan tafsir sebab tafsir merupakan induk Ulmul Quran.di antara ulama abad II H.yang menyusun tafsir ialah:
1. Syu’bah Al-Hajjaj(W. 160 H.)
2. Sufyan Bin ‘Uyaniyah (W. 198 H.)
3. Sufyan Ats-Tsauri (W. 161 H.)
4. Waqi’ Bin Al-Jarrh(W. 128-197 H.)
5. Muqatil Sulaiman (W. 150 H.)
6. Ibnu Jarir At-Thabari (w. 310 H.) tafsir yang di tulisnya, yakni Jami’ Al-Bayan Fi Yafsir Al-Quran, dipandang sebagai kitab tafsir yang terbaik karena penulisnya adalah orang yang pertama kali menyajikan tafsir dengan mengemukakan berbagai pendapat yang di sertai pula dengan proses tarjih. Kitab ini di pandang sebagai kitab yang pertama kali mencampuradukan antara tafsir bi-al ma’tsur dan tafsir bi ar-ra’yi.




b. Perkembangan Ulumul Quran abad ke III H.
Pada abad III H. Selain tafsir dan ilmu tafsir, para ulama mulai menyusun beberpa ilmu Al-Quran (Ulumul Quran), di nataranya.
1. ‘Ali Bin Al-Madani (w. 234 H. ), gurunya Bukhari, yang menyusun Ilmu Asbab An-Nuzul .
2. Abu Abaid Al-Qasimi Bin Salam (w. 224 H.), yang menyusun Ilmu Nasikh Mansukh, Ilmu Qira’at, Dan Fadha ‘Il Al-Quran.
3. Muhammad bin Ayyub Adh-Dhurraits (w. 294 H.) yang menyusun Ilmu Makki wa Al Madani.
4. Muhammad bin khalaf al- marzuban (w.309 H.) yang menyusun kitab Al-Hawi Fi ‘Ulum Al-Quran.
c. Perkembangan Ulumul Quran abad ke IV H.
Pada abad IV H. Mulia disusun Al-Gharib Al-Quran dengan beberapa kitab Ulumul Quran di anyara ulama-ulama yang menyusun ilmu itu adalah:
1. Abu Bakar As-Sijistani (w.330 H.) yang mnyusun kita Gharib Al-Quran.
2. Abu Bakar Muhammad Bin Al-Qasim Al-Anbari(w 328 H.)yang menyusun kitab ‘Aja’ib Ulum Al-Quran. Di dalam itu ia menjelaskan prihal tujuh huruf (sab’ah ahruf). Penulisan mushaf, jumlah bilangan surat, ayat dan surat dalam Al-Quran
3. Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (w 324 H.)yang menyusun kitab Al-Mukhtazan Fi Ulum Al-Quran.
4. Abu Muhammad Al-Qassab Muhammad Bin Ali Al-Kurkhi (w 360 H.)yang menyusun kitab Nukat Al-Quran Ad-Dallah ‘Ala Al-Bayan Fi Anwa ‘Al ‘Ulum Wa Al-Ahkam Al- Munbi’ah ‘An Ikhtilaf Al-Anam.
5. Muhammad bin ‘Ali Al-Adfawi (w 388 H.)yang menyusun kitab Al- Istighna’ fi Ulum Al-Quran (20 jilid).

d. Perkembangan Ulumul Quran abad V H.
Pada abad ke V H. Mulai disusun ilmu I’rab Al-Quran dalam satu kitab. Namun demikian, penulisan kitab-kitab Ulumul Quran masih terus dilakukanoleh ulama masa ini. Di antara ulama yang berjasa dalam pengembangan Ulumul Quran abad ini adalah:
1. Ali Bin Ibrahim bin Sa’id Al-Hufi (w. 430 H.) selain memelopori penyusunan I’rab Al-Qur’an, ia pun menyusun kitab Al-Burhan fi Ulum Al-Quran, kitab ini selain menfsirkan Al-Quran secara keseluruhan, juga menerangkan ilmu-ilmu Al-Quran yang ada hubungannya dengan ayat-ayat Al-Quran yang ditafsirkan. Karena itu, ilmu-ilmu Al-Quran tidak tersusun secara sistematis dalam kitab ini sebab ilmu-ilmu Al-Quran diuraikan secara terpencar-pencar, tidak terkumpul pada bab-bab berdasarkan judulnya. Namun demikian kitab ini merupakan karya ilmiah yang besar dari seorang ulama yang telah merintis penulisan Ulumul Quran secara lengkap.
2. Abu ‘Amar Ad-Dani (w 444 H.) yang menyusun kitab At- Taisir fi Qira‘at As-Sab’i dan kitab Al-Muhkam fi An-Naqth.
e. Perkembangan Ulumul Quran abad VI H.
Pada abad ke VI H, di samping terdapat ulama yang meneruskan perkembangan Ulumul Quran, juga terdapat ulama yang mulai menyusun ilmu Mubhamat Al-Quran, di antaranya adalah:
1. Abu Al-Qasim bin ‘Abdurrahman As-Suhaili (w. 581 H.) yang menyusun kitab Mubhamat Al-Quran. kita ini menjelaskan maksud kata-kata Al-Quran yang tidak jelas apa atau apa yang dimaksud.
2. Ibn Al-Jauzi (w 596 H.) yang menyusun kitab funun Al-Afnan fi ‘Aja ‘in Al-Quran, dan kitab Al-Mujtab ‘fi ‘Ulmul Tata’allaq bi Al-Quran.


f. Perkembangan Ulumul Quran abad VII H.
Pada abad VII H. ilmu Al-Quran yang terus berkembang dengan mulia tersusunnya Ilmu Majaz Al-Quran dan Ilmu Qira’at di antara ulama abad VII menaruh perhatian terhadap ilmu-ilmu ini adalah:
1. Alamuddin As-Sakhawi (w 643 H.) kitabnya mengenai Ilmu-Ilmu Qira’at dinamakan Al- Murtab Fi Mutasyabih. Kitab ini terkenal dengan nama Manzhumah As-Sakhawiyah. Ia pun mempunyai sebuah kitab mengenai ilmu ini, yaitu Jamal Al-Qurra’.
2. Ibn ‘Abd As-Salam terkenal dengan nama Al-‘Izz(w 660 H.) yang memelopori penulisan Ilmu Majaz Al-Quran dalam satu kitab.
3. Abu Syamah (w 655 H.) yang menyusun kitab Al-Mursyid Al-Wajiz Fi ‘Ulum Al-Quran Tata’allaq Bi Al-Quran Al-‘Aziz.

g. Perkembangan Ulumul Quran abad VIII H.
Pada abad VIII H. Muncullah beberpa ulama yang menyusun ilmu-ilmu baru tentang Al-Quran. Namun demikian, penulisan kitab-kitab tentang Ulumul Quran tetab berjalan. Di antaranya mereka adalah:
1. Ibn Abi Al-Isba’ yang menyusun Ilmu Bada’i Al-Quran yaitu ilmu yang membahas macam-macam badi’ (keindahan bahasa dan kandungan Al-Quran ) dalam Al-Quran.
2. Ibn Al-Qayyim (w. 752 H.) yang menyusun Ilmu Aqsam Al-Quran, yaitu ilmu-ilmu yang mambahas sumpah-sumpah yang terdapat dalam Al-Quran.
3. Najmuddin Ath Thufi (w.716 H.) yang menyusun Ilmu Hujaj Al-Quran atau Jadal Al-Quran, yaitu ilmu yang membahas bukti atau argumentasi yang dipakai Al-Quran untuk menetapkan sesuatu.
4. Abu Al-Hasan Al-Mawardi, yang menyusun Ilmu Amtsal Al-Quran, yaitu ilmu yang mambahas perumpaman yang terdapat di dalam Al-Quran.
5. Bahruddin Az-Zarkasyi,(745-794 H.) yang menyusun kitab Al-Burhan Fi ‘Ulum Al-Quran. Kitab ini telah di terbitkan oleh Muhammad Abu Al-Fadhl Ibrahim (4 jilid ).kitab ini memuat 47 macam persoalan Ulumul Al-Quran.
6. Taqiyuddin Ahmad Bin Taimiyah Al-Harrani (w. 728 H.) yang menyusun kitab Ushul
At-Tafsir.

h. Perkembangan Ulumul Quran abad IX dan X H.
Pada bad IX dan permulaan X H. Makin banyak karya para ulama tentang Ulumul Quran. Pada masa ini, perkembangan Ulumul Quran mencapai kesempurnaannya. Beberapa ulama yang menyusun Ulumul Quran di antaranya:
1. Jalaluddin Al-Bulqini (w. 824 H.) yang menyusun kitab Mawaqi’ Al-‘Ulum Min Muwaqi’ An-Nujum , As-Suyuthi menganggap Al-Bulgini sebagai ulma yang memelopori penyusunan kitab Ulumul Quran yang lengkap.di dalam kitabnya itu dimuat 50 macam persoalan Ulumul Quran. di dalamnya muqaddimah kitabnya, Ia bercerita “Dahulu tatkala berbicara di depan salah seorang kholifah dari Bani Abbas, Asy-Syafi’i pernah menyebutkan sebagian ilmu-ilmu Al-Quran sehingga aku memperoleh informasi banyak darinya. dan aku bermaksud menulis kitab yang berkaitan dengan Al-Quran sebatas pengetahuan yang kumiliki.”
2. Muhammad Bin Sulaiman Al-Kafiyaji (w. 879 H.) yang menyusun kitab At-Taisir Fi Qawa’id At Tafsir. karyanya itu, sebagaimana dikatakan penulisnya sendiri, berbeda dari karya-karya sebelumnya. Kitab ini sangat tipis, yaitu terdiri atas dua bab dan penutup. Bab pertama menjalaskan makna tafsir, takwil , Al-Quran, surat, dan ayat. Bab kedua menjalaskan syarat-syrat penafsiran bi ar-ra’yi yang dapat di terima, sedangkan khatimahnya berisi etika guru dan murid.
3. Jalaluddin Abdurrahman Bin Kamaluddin As-Suyuthi (849-911 H.) yang menyusun kitab At- Tahbir Fi Ulum At-Tafsir. Kitab ini selesai disusun pada tahun 872 H. Dan merupakan kitab Ulumul Quran yang paling lengkap karena memuat 102 macam ilmu Al-Quran. Namun imam As-Suyuti belum merasa puas atas karya ilmiahnya yang hebat itu. Ia kemudian menyusun kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Quran (2 juz) yang membahas 80 macam ilmu Al-Quran yang padat isinya dan tersusun secara sistematis. Kitab Al-Itqan ini belum ada yang menandingi mutunya sehingga diakui sebagai kitab standar dalam mata pelajaran Ulumul Uuran. Setelah As-Suyuthi wafat pada tahun 911 H. Perkembangan ilmu Al-Quran seolah-olah mencapai puncaknya dan berhenti dengan berhentinya kegiatan para ulama dalam mengembangkan ilmu-ilmu Al-Quran. Keadaan ini terjadi sejak wafatnya As-Suyuthi (911 H.) sampai akhir abad XIII H.

i. Perkembangan Ulumul Quran abad XIV H.
Setelah memasuki abad XIV H. perhatian ulama bangkit kembali dalam menyusun kitab-kitab yang membahas Al-Quran dari berbagai segi. hal ini di antaranya dipicu oleh kegiatan ilmiah di Universitas Al-Azhar Mesir, terutama ketika Universitas ini membukan jurusan bidang studi, yang salah satu jurusannya adalah tafsir hadis.
Ada sedikit pengembangan tema pembahasan yang dihasilkan para ulama abad ini dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya, di antaranya berupa penerjemahan Al-Quran kedalam bahasa-bahasa Ajam. Pada abad ini, perkembangan Ulumul Quran diwarnai oleh usaha-usaha menebarkan keraguan di seputar Al-Quran yang dilakukan kalangan Orientalis atau kalangan orang islam sendiri akibat pengaruh Orientalis. Salah satunya adalah yang telah dilakukan Thaha Husein dalam karyanya yang berjudul Asy-Syi’ri Al-Jahili. Di dalam karyanya itu, Husein menebarkan berbagai keraguan di seputar Al-Quran. Bantahan terhadapnya telah dilakukan, umpanya oleh Syeikh Muhammad Al-Khidr Husein, salah seorang Syeikh Al-Azhar.

Karya Ulumul Quran yang lahir pada abad ini, di antaranya adalah:
1) Syeikh Thahir Al-Jazairi yang menyusun kitab At-Tibyan Fi Ulum Al-Quran. Kitab ini selesai disusun pada tahun 1335 H.
2) Jamaluddin Al-Qasimi (w. 1332 H.) yang menyusun kitab Mahasin At-Ta’wil. Juz pertama kitab ini dikhususkan untuk pembicaraan Ulumul Quran.
3) Muhammad Abd Al-Azhim Az-Zarqani yang menyusun kitab Manahil Al-Irfan Fi Ulum Al-Quran (2 jilid).
4) Muhammad Ali Salamah yang menyusun kitab Manhaj Al-Furqan Fi Ulum Al-Quran.
5) Syeikh Tanthawi Jauhari yang menyusun kitab Al- Jawahir Fi Tafsir Al-Quran Dan Al-Quran Wa Ulum Ashriyyah.
6) Musthafa Shadiq Ar-Rafi’i yang menyusun kitab I’jaz Al-Quran.
7) Sayyid Quthub yang menyusun kitab At-Tashwir Al-Fani Fi Al-Quran.
8) Malik Bin Nabi yang menyusun kitab Az-Zhahirah Al-Quraniyah. Kitab ini sangat penting dan banyak berbicara mengenai wahyu.
9) Sayyid Imam Muhammad Rasyid Ridha yang menyusun kitab Tafsir Al-Quran Al-Hakim yang terkenal pula dengan nama Tafsir Al-Manar. Di dalamnya banyak juga penjelasan tentang Ulum Al-Quran.
10) Syeikh Muhmmad Abdullah Darraz yang menyusun kitab An-Naba’ Al-Azhim ‘An Al-Quran Al-Karim: Nazharat Jadidah fi Al-Quran.
11) Dr. Subhi Ash-Shalih, guru besar islamic studies dan fiqhu lugah pada fakultas adab Universitas Libanon, menyusun kitab Mabahits Fi Ulum Al-Quran. Kitab ini selain membahas Ulum Al-quran, juga menanggapi secara ilmiah pendapat-pendapat orientalis yang diPandang salah mengenai berbagai masalah yang merhubungan dengan Al-Quran.
12) Syeikh Muhmmad Abu Daqiqi yang menyusun kitab Ulum Al-Quran.
13) Ustadz Muhammad Al-Mubarak yang menyusun kitab Al-Manhal Al-Khalid.
14) Muhammad Al-Ghazali yang menyusun kitab Nazharat fi Al-Quran.
15) Syeikh Muhammad Musthafa Al-Maraghi yang menyusun sebuah risalah yang menerangkan kebolehan kita menerjemahkan Al-Quran. Ia pun menulis kitab Tafsir Al-Maraghi.
E. Kelahiran istilah Ulumul Quran sebagai suatu ilmu yang lengkap dan menyeluruh ( integral dan konprehensif) tentang Al-Quran

Di kalangan ulama, ada beberapa pendapat tentang kapan mulai lahir istilah Ulumul Quran sebagai nama untuk suatu ilmu tentang Al-Quran yang lengkap dan mencakup semua ilmu yang ada hubungan dengan Al-Quran dan siapakkah ulama yang mempeloporinya.
Di kalangan penulis sejarah Ulumul Quran, pada umumnya berpendapat, bahwa lahirnya istilah ilmu Al-Quran sebagai suatu ilmu adalah pada abad VII H. Dan ada pendapat lain menyatakan, bahwa Abu Al-Farj bin Al-Jauzi-lah yang pertama kali memunculkan istilah tersebut pada abad VI H. Adapun Az-Zarqani menyataakan bahwa istilah itu muncul pada awal abad V H. Yang disampaikan oleh Al-Hufi (w. 430 H.) dalam karyanya yang berjudul Al-Burhan Fi Ulum Al-Quran. Pendapat lain dikemukakan Dr. Shubhi Al-Shalih. Ia berpendapat bahwa istilah Ulumul Quran sebagai satu ilmu sudah muncul sejak abad III H. Yaitu ketika Ibn Al-Marzuban menulis kitab yang berjudul Al-Hawi Fi Ulum Al-Quran.
Dapat ditambahkan, bahwa Prof. T.M. Hasbi Al-Shiddiqi dalam bukunya Sejarah Dan Pengantar Ilmu Tafsir menerangkan, bahwa menurut hasil penelitian sejarah, Al-Kafiyaji (w. 879 H.) adalah ulama yang pertama kali membukukan Ulumul Quran. Menurut Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Pengantar Ulumul Quran berpendapat, bahwa pendapat Dr. Shubhi Al-Shalih adalah yang paling tepat, sebab sejarah perkembangan ilmu-ilmu Al-Quran menunjukkan dengan jelas, bahwa Ibn Al-Marzuban (w. 309 H.) adalah ulama yang pertama kali mengemukakan istilah Ulumul Quran sacara jelas di dalam bukunya Al-Hawi Fi Ulum Al-Quran.
Dari uraian tentang sejarah perkembangan ilmu-ilmu Al-Quran ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa Ulumul Quran sebagai suatu ilmu telah dirintis oleh Ibn Al-Marzuban (w. 309 H.) pada abad III H. Kemudian diikuti oleh Al-Hufi (w. 430 H.) pada abad V H. Kemudian dikembangkan Ibn Al-Jauzi (w. 597 H.) pada VI H. Kemudian diteruskan oleh Al- Sakhawi (643 H.)pada abad VII H. Kemudian ditingkatkan lagi oleh Al-Bulqini (w 824 H.) dan Al-Kafiyaji (w 879 H.) pada abad IX H. Akhirnya ilmu ini disempurnakan oleh Asy-Suyuti pada akhir abad IX dan awal abad X H.
Kitab Al-Tahbir yang selesa disusun oleh Asy-Suyuti pada tahun 872 H. Dan kitab Al-Itqan yang selesai disusun pada awal abad X H. Merupakan puncak karya ilmiah seorang ulama dalam bidang Ulumul Quran, sebab setelah Asy-Suyuti wafat pada tahun 911 H, maka berhentilah kemajuan Ulumul Quran sampai akhir abad XIII H.
Alhamdulillah, pada abad XIV sekarang ini mulai bangkit kembali kegiatan para ulama dan sarjana islam untuk menyusun kitab-kitab tentang Al-Quran, baik yang membahas Ulumul Quran sebagai suatu ilmu yang integral dan komprehensif, misalnya Al-Zarqani dengan bukunya Manahil Al-Irfan Fi Ulum Al-Quran dan Dr. Shubhi Ash-Shalih dalam bukunya Mabahits Fi Ulum Al-Quran, maupun yang membahas salah satu atau beberapa ilmu yang termasuk Ulumul Quran, misalnya Al- Syeikh Musthafa Al- Maraghi (ulama Mesir) dan Syeikh Al-Islam Musthafa Shabri (ulama Turki) menyusun risalah tentang masalah menerjemahkan Al- Quran.


BAB III
ASBABUN NUZUL
A. Pengertian
Menurut bahasa (etimologi), asbabun nuzul berarti turunnya ayat-ayat al-Qur’an dari kata “asbab” jamak dari “sababa” yang artinya sebab-sebab, nuzul yang artinya turun. Yang dimaksud disini adalah ayat al-Qur’an. Asbabun nuzul adalah suatu peristiwa atau yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al-Qur’an baik secara langsung atau tidak langsung.
Menurut istilah atau secara terminologi asbabun nuzul terdapat banyak pengertian, diantaranya :
1. Menurut Az-Zarqani
“Asbab an-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
2. Ash-Shabuni
“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama”.

3. Subhi Shalih
ما نزلت الآية اواآيات بسببه متضمنة له او مجيبة عنه او مبينة لحكمه زمن وقوعه
“Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi” .
4. Mana’ al-Qathan
مانزل قرآن بشأنه وقت وقوعه كحادثة او سؤال
“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya al-Qur’an berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi” .
5. Nurcholis Madjid
Menyatakan bahwa asbab al-nuzul adalah konsep, teori atau berita tentang adanya sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari al-Qur’an kepada Nabi saw baik berupa satu ayat, satu rangkaian ayat maupun satu surat .
Kendatipun redaksi pendefinisian di atas sedikit berbeda semua menyimpulkan bahwa asbab an-nuzul adalah kejadian/peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut.
Mengutip pengertian dari Subhi al-Shaleh kita dapat mengetahui bahwa asbabun nuzul ada kalanya berbentuk peristiwa atau juga berupa pertanyaan, kemudian asbabun nuzul yang berupa peristiwa itu sendiri terbagi menjadi 3 macam :
1. Peristiwa berupa pertengkaran
Seperti kisah turunnya surat Ali Imran : 100
              
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman”.
Yang bermula dari adanya perselisihan oleh kaum Aus dan Khazraj hingga turun ayat 100 dari surat Ali Imran yang menyerukan untuk menjauhi perselisihan.
2. Peristiwa berupa kesalahan yang serius
Seperti kisah turunnya surat an-Nisa’ : 43
             •                                •    • 
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”.
Menurut sebahagian ahli tafsir dalam ayat ini termuat juga larangan untuk bersembahyang bagi orang junub yang belum mandi.
Saat itu ada seorang Imam shalat yang sedang dalam keadaan mabuk, sehingga salah mengucapkan surat al-Kafirun, surat An-Nisa’ turun dengan perintah untuk menjauhi shalat dalam keadaan mabuk.
3. Peristiwa berupa cita-cita/keinginan
Ini dicontohkan dengan cita-cita Umar ibn Khattab yang menginginkan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat, lalu turun ayat
والتخذ وامن مقام ابراهيم مصلّى
Sedangkan peristiwa yang berupa pertanyaan dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
1. Pertanyaan tentang masa lalu seperti :
         • 
“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya". (QS. Al-Kahfi: 83)
2. Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada waktu itu seperti ayat:
               
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra’ : 85)
3. Pertanyaan tentang masa yang akan datang
“(orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya?”
B. Macam-macam Asbab an-Nuzul
1. Dilihat dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbab an-nuzul
a. Sarih (jelas)
Artinya riwayat yang memang sudah jelas menunjukkan asbabunnuzul dengan indikasi menggunakan lafal (pendahuluan).
سبب نزول هذه الآية هذا...
Sebab turun ayat ini adalah
حدث هذا... فنزلت الآية
Telah terjadi …… maka turunlah ayat
سئل رسول الله عن كذا... فنزلت الآية
Rasulullah pernah kiranya tentang …… maka turunlah ayat.
b. Muhtamilah (masih kemungkinan atau belum pasti)
Riwayat belum dipastikan sebagai asbab an-Nuzul karena masih terdapat keraguan.
نزلت هذه الآية فى كذا...
(ayat ini diturunkan berkenaan dengan)
أحسب هذه الآية نزلت في كذا...
(saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan ……)
ما أحسب نزلت هذه الآية الا في كذا...
(saya kira ayat ini tidak diturunkan kecuali berkenaan dengan …)
2.Dilihat dari sudut pandang terbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat atau terbilangnya ayat untuk satu sebab asbab an-nuzul.
a. Beberapa sebab yang hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat
b. Satu sebab yang melatarbelakangi turunnya beberapa ayat .
C. Urgensi Asbabun Nuzul
1. Penegasan bahwa al-Qur’an benar-benar dari Allah SWT
2. Penegasan bahwa Allah benar-benar memberikan perhatian penuh pada rasulullah saw dalam menjalankan misi risalahnya.
3. Penegasan bahwa Allah selalu bersama para hambanya dengan menghilangkan duka cita mereka
4. Sarana memahami ayat secara tepat .
5. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum
6. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an
7. Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan turunnya ayat al-Qur’an
8. Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat serta untuk memantapkan wahyu di hati orang yang mendengarnya .
9. Mengetahui makna serta rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an .
10. Seorang dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umum dan dalam keadaan bagaimana ayat itu mesti diterapkan.
D. Cara Mengetahui Riwayat Asbab an-Nuzul
Asbab an-nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. Oleh karena itu, tidak boleh tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatan (pentransmisian) yang benar (naql as-shalih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung turunnya ayat al-Qur’an . Al-wahidi berkata :
لا يحل القول فى اسباب نزول الكتاب الاّ بالرواية والسماع ممن شاهدوا التنزيل ووقفوا على الاسباب وبحثوا عن علمها
“Tidak boleh memperkatakan tentang sebab-sebab turun al-Qur’an melainkan dengan dasar riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan ayat itu diturunkan dengan mengetahui sebab-sebab serta membahas pengertiannya”.
Sejalan dengan itu, al-Hakim menjelaskan dalam ilmu hadits bahwa apabila seorang sahabat yang menyaksikan masa wahyu dan al-Qur’an diturunkan, meriwayatkan tentang suatu ayat al-Qur’an bahwa ayat tersebut turun tentang suatu (kejadian). Ibnu al-Salah dan lainnya juga sejalan dengan pandangan ini.
Berdasarkan keterangan di atas, maka sebab an-nuzul yang diriwayatkan dari seorang sahabat diterima sekalipun tidak dikuatkan dan didukung riwayat lain. Adapun asbab an-nuzul dengan hadits mursal (hadits yang gugur dari sanadnya seorang sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai kepada seorang tabi’in). riwayat seperti ini tidak diterima kecuali sanadnya sahih dan dikuatkan hadits mursal lainnya.
Biasanya ulama menggunakan lafadz-lafadz yang tegas dalam penyampaiannya, seperti: “sebab turun ayat ini begini”, atau dikatakan dibelakang suatu riwayat “maka turunlah ayat ini”.
Contoh : “beberapa orang dari golongan Bani Tamim mengolok-olok Bilal, maka turunlah ayat Yaa aiyuhal ladzina amanu la yaskhar qouman”.
E. Kaidah Penetapan Hukum Dikaitkan dengan Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul sangatlah erat kaitannya dengan kaidah penetapan hukum. Seringkali terdapat kebingungan dan keraguan dalam mengartikan ayat-ayat al-Qur’an karena tidak mengetahui sebab turunnya ayat. Contohnya firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 115 yang artinya :
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Firman Allah itu turun berkenaan dengan suatu peristiwa yaitu beberapa orang mukmin menunaikan shalat bersama Rasulullah saw. Pada suatu malam yang gelap gulita sehingga mereka tidak dapat memastikan arah kiblat dan akhirnya masing-masing menunaikan shalat menurut perasaan masing-masing sekalipun tidak menghadap arah kiblat karena tidak ada cara untuk mengenal kiblat.
Seandainya tidak ada penjelasan mengenai asbabun nuzul tersebut mungkin masih ada orang yang menunaikan shalat menghadap ke arah sesuka hatinya dengan alasan firman Allah surat al-Baqarah ayat 115 .
.

BAB IV
AL-MAKKY – AL-MADANY

A. Definisi
Istilah al-makkiy sebenarnya di ambil dari mana kota Makkah, tempat permulaan Rasulullah SAW mulai mengerjakan Islam. Ia merupakan kata sifat yang di sandarkan kepada kota tersebut. Sesuatu disebut al-makiy apabila ia mengandung kriteria yang berasal dari Makkah atau yang berkenaan dengannya. Begitu juga al-Madaniy, ia diambil dari nama kota Madinah, tempat Rasulullah SAW berhijrah dan membangun masyarakat Islam, yang darinya kelak ajaran Islam menyebar keseluruh penjuru dunia. Dalam perjalanan sejarah turunnya Al-Qur’an-yang akan menjadi kajian utama dalam tulisan ini tentu tidak kan lepas dari proses sejarah perjalanan dakwah Rasulullah saw, yang bermula dari makkah hingga Madinah.
Sekalipun kemudian da’wah Rasulullah SAW melebar, melewati batas-batas wilayah di luar kota Makkah dan Madinah, tetapi kedua kota ini tetap mempunyai peran dalam semua proses tersebut.
Al-Imam az- Zarkasyi (w.794H) dalam bukunya Al-Burhan fi ‘ulum al-Quran telah menyebutkan tiga variabel definisi mengenai al-Makky dan al-Madaniy, pertama, definisi berkonotasi tempat, bahwa al-Makky adalah unit wahyu yang diturunkan di Mekkah, dan al- Madanniy adalah unit wahyu yang diturunkan di Madinah. Kedua, definisi berkonotasi periode waktu, bahwa al-makkiy adalah unit wahyu yang diturunkan sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, dan al- madanny adalah yang diturunkan setelah hijrah. Ketiga, definisi berkonotasi objek wahyu, atau kepada siapa khitab-nya ditujukan, bila khitab wahyu ditujukan kepada penduduk Mekah maka ia tergolong Makkiyyah, tapi bila ditujukan kepada penduduk Madinah, maka ia tergolong Madaniyyah.



B. Jumlah surah-surah Makkiyyah dan Madaniyyah
Kajian sangat mendalam dan teliti dalam masalah surah apa saja yang tergolong Makkiyyah atau Madaniyyah pernah dilakukan Imam al-suyuthi dalam karyanya al-itqan. Sebagai seorang yang menguasai berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu Hadis, al-Suyuthi telah memaparkan beberapa riwayat dari para sahabat mengenai hal tersebut. Dan ternyata tema ini pernah menjadi pembicaraan hangat diantara para sahabat. Suatu bukti bahwa untuk mengetahui hakikat surah-surah Makkiyyah atau Madaniyyah harus merujuk kepada riwayat para sahabat, karena merekalah yang menyaksikan sejarah turunnya wahyu. Baru jika tidak ada riwayat, bisa merujuk kepada qiyas, yaitu melakukan studi perbandingan antara satu surat dengan lainnya, yang darinya akan tampak ciri- ciri Makkiyyah dan ciri-ciri Madaniyyah. Di sini al-Zarkasyi mengutip pernyataan al-Ja’bariy : “ Bahwa untuk mengetahui al-Makkiy dan al-Madaniy ada dua cara : sima’I (mendengar melalui riwayat) atau qiyasi (dengan studi perbandingan).
Dari berbagai pendapat yang di paparkan al-Suyuthi, ada satu penelitian yang sangat kuat, yaitu penelitian Abu al-Hasan bin al-Hassar, dalam bukunya al- Nasikh wa al-Mansukh. Di sini Ibn al-Hassar menyebutkan bahwa jumlah surah-surah Makkiyyah dan Madaniyyah dalam ungkapan bait-bait nadaman, darinya bisa dipahami bahwa ada 20 surat disepakati tergolong periode Madinah : al- Baqarah, al-Imran, al-Nisa’, al-Maidah, al-Anfal, al-Taubah, al-Nur, al-Ahzab Muhammad, al- fath, al-Hujurat, al-hadid,al- Mujadalah, al-Hasr, al-Mumtahanah, al-Tahrim, al-Nasr. Dan ada 12 surat dipertentangkan : al- Fatihah, al-Ra’d, al-Rahman, al-Shaf, al-Taghabun, al-Tathif (al-Mutaffin), al-Qadar, al-Bayyinah, al- Zalzalah, al- Ikhlas, al- Falaq dan al-Nas. Sementara sisanya sebanyak 82 surah, disepakati tergolong dalam periode Mekkah.
Mereka hali bertengkar yang sengit sekali, tukang berdebat dengan kata-kata yang pedas sehingga wahyu makki (yang di turunkan di makkah) juga berupa goncangan –goncangan yang mencekam, menyala-nyala saperti api yang member tanda bahaya disertai argumentasi yang sangat kuat dan tegas.
Demikianlah Al-qur’an surah makkiyah itu penuh dengan ungkapan-ungkapan yang kedengarannya amat keras di telinga seperti dalam surat Qori’ah, Gasyiah dan Waqi’ah dengan huruf hijaiyah pada permulaan surah dan ayat-ayatnya berisi tantangan di dalamnya, bukti-bukti alamiyah dan yang dapat di terima akal.
C. Parameter Makkiyyah dan Kekhususannya
Konsep Makkyyah dan Madaniyyah sebenarnya dibangun atas dasar informasi (baca : riwayat ) dari para sahabat dan tabi’in. Namun tidak semua riwayat sampai kepada generasi selanjutnya. Dari sini kemudian para ulama harus melakukan ijtihad dengan melakukan studi perbandingan secara komprehensif terhadap surah-surah dan ayat Makkiyyah atau Madaniyyah, yang darinya bisa didapatkan sejumlah parameter dan kekhususan dari masing-masing kelompok Makkiyyah dan Madaniyyah.
Beberapa parameter Makkiyyah yang diungkap para ulama sebagai berikut :
1. Setiap surah yang mengandung ayat sajadah, ia termasuk Makkiyyah. Ayat sajdah ini terdapat di 14 tempat dalam Al-Quran : di al-A’raf, al-Ra’d, al-Nahl, al-Isra’, Maryam, al-furqan, al-Naml, al-sajdah, fussilat, al-Najm, al-Insyiqaq, Iqra’, dan dua tempat di al-Hajj.
2. Surat yang pada bagian akhirnya atau separuh terakhirnya, terdapat lafal kalla, ia adalah Makkiyyah. Imam al-Darini menegaskan bahwa lafaz kalla tidak pernah turun di Madinah. Hikmah dari ungkapan ini adalah berupa teguran secara keras terhadap mereka yang sombong dan tidak mau menerima ajaran Rasulullah SAW.
3. Setiap surah yang dimulai dengan sumpah qasam. Dalam hal ini ada 15 Surat : al-Shaffat, al-Dzariyat, al-Thur, al-Najm, al- Mursalat, al-Nazi’at,al-Buruj, al-Thariq, al-Syams, al-Lail, al-Dhuha, al-Tin, al-Adiyat, al-Ashr.
4. Setiap surat yang dimulai dengan huruf hijaiyah seperti aliflam mim, ha mim dan sebagainya. Kecuali surah al-Baqarah dan al-Imran, karena kedua surah ini telah disepakati secara ijma’ sebagai Madaniyyah.
5. Surah yang terdapat di dalamnya ya ayyuha an-nas dan tidak mengandung ya ayyuha al-ladhina amanu.
D. Paramater Madaniyyah dan kekhususannya
Sesuai tabiat yang dihadapi, bagian Al-quran yang diturunkan di madinah mempunyai parameter dan kekhususannya tema yang lain lagi. Tapi hal ini bukan berarti bahwa penulisan Al-quran sangat dipengaruhi oleh lingkungan, sebagai mana yang dituduhkan sebagian orientalis. Mengapa?
1. Al-quran bukan karangan nabi muhammad, sementara tuduhan ini adalah untuk menguatkan tesis yang mereka pertahankan bahwa Al-quran karangan nabi muhammad SAW.
2. Jika demekian maka Al- quran adalah kalam Allah, yang maha tahu.dan jauh sebelum Allah menciptakan manusia Al-quran sudah dipersiapkan sedemikian rupa.
3. Penurunan Al-quran kepada Rosulullah SAW secara berangsur- angsur, itu karena kebijakan Allah semata, berdasarkan pengetahuan-Nya yang Mahaluas dan sesuai dengan hikmah yang ia ketahui, jadi Rasulullah SAW tidak sama sekali bisa mencampuri urusan proses penurunan wahyu tersebut. Karenanya banyak peristiwa yang menggambarkan bagaimana Rasulullah SAW berhari-hario bahkan berbulan-bulan menunggu turunya wahyu, seperti peristiwa fatrotul al-wahyu (terputusnya wahyu), di mana dalam peristiwa ini rosulullah SAW-sebagaima dalam riwayat Imam bukhori- sangat sedih, karena sudah begitu lama wahyu tidak turun. Sementara kerinduan kepada turunya wahyu begitu kuat dan tidak tertahankan. Toh kendati demekian wahyu masih juga belum turun .


BAB V
MUNASABAH
1. Pengertian Munasabah
Kata munasabah secaraetimologi berasal dari akar kata ( ناسب- يناسب- مناسبه ). Berarti keserupaan (المشاكله) (المقاربة) kedekatan Apabila dikatakan (قارب- يقارب- مقاربة) maka berarti ia mendekati dan menyerupai fulan yunasibu fulan . Munasabah juga berarti yang bersaudara (مناسبه) yaitu kedekatan dengan adanya hubungan dua orang yang bersaudara. Sedangkan (مقاربة)artinya adanya keterikatan antara keduannya yang disamakan) Yakni kedekatan).
Dalam pembahasan qiyas Munasabah diartikan dengan kesesuian pada illat artinya sifat yang berdekatan dengan hukum (al-wasf al-muqarib li al hukm) gambaran yang berhubungan dengan hukum, karena apabila diperoleh kedekatan melalui adanya dugaan tentang sifat, maka akan diperoleh hukum.
Secara terminology munasabah al-Qur’an ialah:
Menurut az-zarkasyi

المناسلبة امر معقول ادا عرض علِى العقلول تلقته بالقبول
Suatu hal yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan pada akal, pasti akal itu akan menerimanya

Menurut manna’al-Qathathan
وجه الاءرتباط بين الجملة و الجملة فى الاية الواحدة او بين الاية والاية فى الاية المتعددة او بين السورة والسورة
Munasabah adalah sisi keterkaitan antara beberapa ungkapan di dalam suatu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat, atau antar surat di dalam al-Quran
Menurut ibn al’arabi
ارتباط اى القران بعضلها ببعض حتى تكون كالمة الواحدة متسقة المعانى منتظمة المبانى
Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat al-Quran sehingga seolah-olah merupakan suatu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi.
Dari pengertian secara terminology munasabah dapat ditarik kesimpulan yaitu
1. Suatu hal yang dapat dipahami ketika dihadapkan pada akal
2. Keterikatan dari beberapa ayat atau surat sehingga ada keserasian
Dapat disimpulkan sebagai berikut
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa Munasabah al-Qur’an adalah suatu methode yang dipergunakan untuk menemukan segi-segi relevansi antara ayat yang satu dengan ayat lain dan surat yang satu dengan surat yang lain. Relevansi ini pada akhirnya dapat mewujudkan keterpaduan pesan-pesan al-Qur’an secara integral, tidak lagi parsial.
2. Cara mengetahui Munasabah dalam al-Qur’an dapat dilakukan dengan beberapa langkah:
1. Mengetahui susunan kalimat dan maknanya.
Imam al-Suyuthi memberikan penjelasan bahwa harus ditemukan dahulu apakah ada huruf athaf yang mengaitkannya dan adakah satu bagian merupakan penguat, penjelas ataupun pengganti bagi bagian yang lainnya.Apabila terdapat sesuatu yang dirangkaikan maka di antara keduanya mempunyai sisi yang bersatu seperti firman Allah :
                   
Artinya: Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun”. (QS. Saba’: 2)
•     •           
Artinya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah, maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan rezki dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”( QS. Al-Baqarah: 245)


2. Mengetahui maudhu’ atau topik yang dibicarakan.
Subhi al-Shalih mengatakan, bahwa pada satu surat terdapat maudhu’ yang menonjol, keseluruhannya terdiri dari bagian-bagian dalam ayat-ayat yang saling bersambungan dan berhubungan.Ukuran wajar atau tidaknya persesuaian ayat yang satu dengan yang lain, atau surat yang satu dengan surat yang lain, dapat diketahui dari tingkat kemiripan atau kesamaan maudhu’ itu. Jika persesuaian itu mengenai hal yang sama dan ayat-ayat yang terakhir suatu surat terdapat kaitan dengan ayat-ayat permulaan surat berikutnya, maka persesuaian yang demikian itu adalah masuk akal dan dapat diterima. Tetapi, apabila mengenai ayat-ayat atau surat-surat yang berbeda-beda sebab turunnya dan tentang hal-hal yang tidak sama, maka sudah tentu tidak ada munasabah antara ayat-ayat dan surat-surat itu.
3. Mengenai asbab al-Nuzul.
Yakni sebab-sebab turunnya ayat-ayat mengenai satu topik di dalam sebuah surat dengan topik yang sama pada surat yang lain. Kesamaan topik tersebut dapat dilihat dari latar belakang historis turunnya ayat.Melalui pengetahuan terhadap Asbab al-Nuzul ayat akhirnya dapat memberikan kontribusi dalam menemukan munasabah antara ayat dan antara surat dalam al-Qur’an.



3. Macam-macam tema munasabah
a. Tema munasabah dalam bentuk kebahasaan
Surat al-Fatihah dengan surat berikutnya, yaitu surat al-Baqarah, hubungan khusus bersifat kebahasaan, sementara hubungan umumnya lebih berkaitan dengan isi dan kandungan.hubungan kebahasaan tercermin dalam dalam surat al-Fatihah diakhiri denga doa
   
“Tunjukilah Kami jalan yang lurus,” (al-Fatihah 6)
Do’a ini mendapat jawabannya pada permulaan surat al-Baqarah
         
“ Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (al-Baqarah 2)
Atas dasar ini bahwa teks tersebut bersinambungan; seolah-olah ketika mereka memohon hidayah (petunjuk) ke jalan yang lurus maka dikatakanlah kepada mereka: petunjuk lurus yang engkau minta itu adalah al-Kitab.
b. Munasabah dalam bentuk irama pengucapan
            
“. 1.Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.2. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus”(al-Kausar 1-3)

c. Tema munasabah dalam bentuk kandungan isi
Contoh surat yang ada hubungannya dengan surat sebelumnya yaitu al-fath ada hubungannya dengan surat sebelumnya surat al-Qital/Muhammad dan juga surat sesudahnya al-Hujurat.
Al-Qital al-Fath al-Hujurat
Peperangan
Fathul makah,perdamaian hudaybiyah
Pengaturan bagaimana keamanan, sikap orang muslim terhadap Nabi
(Al-Qital prolognya) (al-Fath akibat atau hasil) (al-Hujrat follow up nya)

3. Macam-macam Munasabah
Macam-macam Munasabah dalam al-Qur’an dapat dilihat sebagai berikut :
1. Hubungan kata demi kata dalam satu ayat.
                     
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”(QS. al-Ghasyiyah: 17-20)
Tampaknya tidak ada relevansinya dan perpaduan pikiran pada ayat tersebut.Sebab tampaknya, meninggikan langit terpisah dari menciptakan unta.Menegakkan gunung terpisah dari meninggikan langit dan menghamparkan bumi terputus dari menegakkan gunung.Tetapi al-Zarkasyi telah menunjukkan ada munasabah antara ayat-ayat itu, dengan menyatakan, bagi masyarakat Arab badui yang masih hidup primitif pada waktu turun al-Qur’an binatang unta adalah sangat vital untuk kehidupan mereka.Unta-unta itu sudah tentu perlu makan dan minum.Sedang untuk keperluan makan dan minum unta itu memerlukan air.Itulah sebabnya mereka selalu memandang ke langit untuk mengharapkan hujan turun.Mereka juga memerlukan tempat yang aman untuk berlindung.Tempat itu tidak lain adalah gunung-gunung. Kemudian mereka selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk kelangsungan hidupnya, sebab mereka tidak bisa lama tinggal di satu tempat. Maka apabila seorang Badui melepas khayalnya, maka gambaran-gambaran di atas akan terlihat di depannya, sesuai dengan urutan ayat-ayat itu.
2. Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya
Menerangkan dan menyempurnakan ungkapan pada surat sebelumnya, contoh surat al-Fatihah terdapat ungkapan() berkorelasi dengan surat al-Baqarah
    
“segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” (al-Fatihah 2)

      
“karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku” (al-Baqarah 152)
                   
“dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah 186)
3. Munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya
Contohnya surat (al-Baqarah 67-71) cerita tentang lembu betina, mengandung inti pembicaraan tentang kekuasaan Allah membangkitkan orang mati degan kata lain tujuan surat ini adalah menyangkut kekuasaan Allah dan keimanan pada hari kiamat
4. Munasabah antar bagian suatu ayat
Munasabah antarbagian surat sering berbentuk pola munasabah (at-tadhad )perlawanan
Contoh :
                                      
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya .dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Hadid 4)
Kata () dan kata () kata () dg kata ()
5. Munasabah yang letaknya berdampingan
   
“Tunjukilah Kami jalan yang lurus,” (al-Fatihah 6)
         
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (al-Baqarah 2)
Jalan yang lurus adalah -----al-Quran
6. Munasabah antar suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat di sampingnya
Contoh dalam surat al-Baqarah ayat 1-20 yaitu Allah memulai penjelasannya tentang kebenaran dan fungsi al-Quran bagi orang yang bertaqwa.dalam kelompok ayat berikutnya dibicarakan tentang tiga kelompok manusia dan sifat mereka yang berbeda-beda yaitu mu’min, kafir, munafik.
7. Munasabah antar penutup surat dengan awal surat berikutnya
Contoh :
          
“semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah) dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (al- hadid 1)
Bermunasabah dengan akhir surat sebelumnya (al-Waqiah 96)
    
“Maka bertasbihlah dengan menyebut nama Rabbmu yang Maha besar” (al-Waqiah 96)
4. Manfaat mempelajari munasabah
1. Menyempurnakan dan memperkuat keakuratan penafsiran al-Qur’an.
2. Mempermudah memahami keserasian antar makna dalam menentukan maksud dan tujuan ayat dan surat.
3. Membuktikan keindahan gaya bahasa al-Qur’an, keteraturan bahasa dan kemukjizatan.
4. Yang menjawab dan meluruskan anggapan para orientalis bahwa ayat al-Qur’an tumpang tindih dan kacau balau.


BAB VI
JAM’ AL-QUR’AN
1. Pengertian Jam’ al-Qur’an
a) Pengertian secara etimologi
الأول : معنى الجمع في اللغة .
الجَمْع : مصدر الفعل "جَمَع" ، يقال : جمع الشيء يجمعه جمعا.

Kata al-Jam’u adalah bentuk masdar dari jama’a yang berarti menggabungkan, menghimpun, atau mengumpulkan. Dari ungkapkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kata Jam’ al-Qur’an dari segi bahasa mempunyai arti menggabungkan atau mengumpulkan al-Qur’an.
b) Pengertian secara terminologi
Secara terminologi jam’ al-Qur’an memiliki dua arti :
1. Menghafalkan al-Qur’an sebagaimana firman Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 17 yaitu;
•   
2. menulis dan mengumpulkan al-Qur’an sebagaimana ucapan Zaid bin Tsabit sebagai berikut:
فتتبعت القرآن أجمعه من العسف واللخاف وصدور الرجال
Jadi ketika berbicara tentang jam’ al-Qur’an, maka yang dimaksudkan dengan ungkapan ini adalah pengumpulan wahyu yang diterima nabi melalui kedua cara tersebut. Istilah ini hanya dipakai pada zaman Nabi, sedangkan pada masa Abu Bakar jam’ al-Qur’an hanya dipakai dalam satu arti yaitu menulis dan mengumpulkan al-Qur’an, dan pada masa Usman mempunyai arti menyalin mushaf.
Namun sebenarnya dari dua nama al-Qur’an yang paling populer, kitapun akan memperoleh dua arti tersebut, yaitu :
1. Al-Qur’an
Nama ini mengindikasikan kepada arti yang pertama yaitu menghafalkan al-Qur’an karena lafal al-qur’an berasal dari kata “qoro’a” yang berarti membaca, sebagaimana firman Allah di atas, yaitu:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآَنَهُ
2. Al-Kitab
Sedangkan kata al-Kitab mengindikasikan kepada arti yang kedua yaitu menulis al-Qur’an karena lafal al-Kitab adalah masdar dari lafal “kataba” yang berarti menulis.
Jadi dua nama al-Qur’an tersebut sudah mengindikasikan bahwa al-Qur’an harus di rawat baik secara tulisan maupun hafalan.
2. Pemeliharaan al-Qur’an
a) Pemeliharaan al-Qur’an di langit
Al-Qur’an telah di muliakan semenjak berada di langit, di mana hal ini sudah disampaikan oleh Allah dengan sumpah-Nya yang termaktub dalam al- Qur’an :
                  •           
“Maka Aku bersumpah dengan masa Turunnya bagian-bagian Al-Quran. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu Mengetahui. Sesungguhnya Al-Quran Ini adalah bacaan yang sangat mulia,.Pada Kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh),Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil 'alamin.”
Dari ayat tersebut bisa kita fahami bahwa, ketika al-Qur’an berada di langit, Allah telah memuliakan dan memeliharanya dari syaitan bahkan tidak ada yang dapat menyentuhnya kecuali malaikat-malaikat yang suci.
b) Pemeliharaan al-Qur’an ketika menuju ke bumi
Allah memelihara al-Qur’an al-Karim ketika menuju bumi dengan cara menurunkan ruh yang suci atau malaikat jibril sebagai pembawa al-Qur’an karena al-Qur’an tidak pantas di bawa oleh ruh yang kotor sebagaimana firman Allah SWT:
 •         
“Dan Al Quran itu bukanlah dibawa turun oleh syaitan- syaitan. Dan tidaklah patut mereka membawa turun Al Quran itu, dan merekapun tidak akan Kuasa”
Dari ayat di atas dapat di simpulkan bahwa Al-Qur’an tidak mungkin dibawa oleh syaitan, al-Qur’an hanya bisa dibawa oleh ruh yang bersih yaitu malaikat .

c) Pemeliharaan al-Qur’an di bumi
Allah memelihara al-Qur’an di bumi melalui Rasulullah, di mana Rasulullah memeliharanya dengan sebaik-baiknya dan menyampaikannya kepada umat, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 16-19:
       •       •    •   
Artinya : Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran Karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.
Rasulullah juga sangat antusias dalam mempelajari al-Qur’an di setiap waktu, beliau selalu membacanya di waktu sholat malam sambil merenungkan makna yang terkandung di dalamnya, sampai-sampai kedua kakinya pecah akibat banyaknya beribadah kepada Allah dalam rangka melaksanakan perintah-Nya
3. Penulisan al-Qur’an Pada Masa Rasulillah
a) Dalil-dalil yang menunjukkan adanya penulisan al-Qur’an pada masa Rosul.

Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan adanya penulisan al-Qur’an pada masa Rasul, yaitu:

 Kemutlakan lafadz kitab bagi al-Qur’an dalam beberapa ayat al- Qur’an, salah satunya adalah firman Allah yang termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 2:
     
Jadi lafal al Kitab itu menunjukkan bahwa al-Qur’an itu di tulis.

 Penulisan itu adalah sebuah sifat yang melekat pada al-Qur’an, sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah yang termaktub dalam surat al-Bayyinah ayat 2-3:
          
Di mana lafal Mushaf tersebut merupakan jama’ dari lafal shahīfah yang artinya lembaran, sedangkan lembaran adalah tempat untuk menulis.

 Banyaknya hadis yang menunjukkan adanya penulisan al-Qur’an pada masa Rasul, diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari :

« أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى أن يُسَافر بالقرآن إلى أرض العدو »

Di samping hadis di atas, masih banyak lagi hadis yang menunjukkan adanya penulisan al-Qur’an pada masa Nabi.

 Adanya izin dari Nabi untuk menulis al-Qur’an, sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :

أخرج مسلم عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : « لا تكتبوا عني ، ومن كتب عني غير القرآن فليمحه »

Hadis tersebut menunjukkan adanya larangan Nabi kepada sahabat untuk menulis selain al-Qur’an sedangkan al-Qur’an di izinkan oleh beliau untuk di tulis.

 Nabi mempunyai penulis wahyu, sebagaimana Hadis berikut :
أن أبا بكر قال لزيد بن ثابت رضي الله عنهما : كنت تكتب الوحي لرسول الله صلى الله عليه وسلم .

 Adanya petunjuk Nabi kepada para penulis wahyu untuk meletakkan ayat-ayat al-Qur’an pada tempatnya di sebuah surat, sebagaimana hadis yang di riwayatkan Imam Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud dan al-Hakim dari hadis Abd Allah bin Abbas dari Usman bin Affan bahwa Usman berkata :

« كان رسول الله صلى الله عليه وسلم مما يأتي عليه الزمان ، ينزل عليه من السور ذوات العدد ، فكان إذا نزل عليه الشيء يدعو بعض من يكتب عنده فيقول : "ضعوا هذه في السورة التي يذكر فيها كذا وكذا . وينزل عليه الآية فيقول : ضعوا هذه الآية في السورة التي يذكر فيها كذا وكذا وينزل عليه الآيات فيقول : ضعوا هذه الآيات في السورة التي يذكر فيها كذا وكذا »


b) Para penulis wahyu

Sebagaimana di sebutkan pada pembahasan yang sebelumnya bahwa Rasul mempunyai para penulis wahyu, pada pembahasan kali ini akan di jelaskan tentang nama para penulis wahyu tersebut. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlahnya, sebagian dari mereka ada yang mengatakan berjumlah 44 penulis wahyu. Namun yang paling masyhur sebagai penulis wahyu adalah nama-nama di bawah ini:

 Abdullah bin Sa’ad. Dia adalah orang pertama yang menulis al-Qur’an sewaktu rasul berada di Mekkah tapi kemudian syaitan menyesatkannya sehingga dia menjadi kafir, namun pada akhirnya dia masuk islam kembali pada peristiwa fathu Makkah dan kembali menulis wahyu .
 Usman bin Affan. Beliau adalah khulafā’ al-Rāsyidīn yang ke tiga. Allah telah menetapkan kehendaknya tentang penulisan dan pengumpulan al-Qur’an pada masa beliau.
 Ali bin Abi Thalib, khalifah ke empat.
 Ubay bin Ka’ab, Dia adalah penulis wahyu yang pertama sewaktu Rasulullah berada di madinah, di samping itu, beliau juga ahli dalam bidang tilāwah.
 Zaid bin Sabit. Dia adalah orang yang paling banyak menulis al-Qur’an, bahkan Imam Bukhāri menjulukinya sebagai sekretaris Nabi dalam kitab sahīhnya .
 Muawiyah bin Abi Sufyan. Dia menjadi penulis wahyu setelah ayahnya meminta kepada nabi agar Abu Sufyan dijadikan sebagai penulis wahyu pada waktu peristiwa Fathu makkah .

Mereka berenam itulah yang menulis al-Qur’an dan meletakkan tulisannya di kamar Nabi, namun di samping mereka, masih ada sahabat-sahabat yang lain seperti Abu Bakar, Umar, Ibn Mas’ud dan lain-lainnya, akan tetapi mereka menulis al-Qur’an hanya untuk mereka sendiri dan bukan atas perintah Rasulullah.

c) Alat yang dipergunakan untuk menulis wahyu

Para penulis wahyu menulis al-Qur’an dengan cara dan alat yang sederhana pada waktu itu, di antara alat yang mereka pergunakan adalah:

1. Potongan kulit hewan, kain, atau daun. Alat ini adalah alat yang sering dipergunakan oleh mereka.
2. Al-Aktaf atau tulang hewan. Menurut Imam as-Suyuti yang dimaksud al-Aktaf adalah tulang unta dan kambing .
3. Pelepah kurma.
4. Permukaan batu yang berukuran lebar, sebagaimana ucapan Zaid bin Tsabit

فتتبعت القرآن أجمعه من العسب واللخاف وصدور الرجال
5. Pelana unta .

d) Sifat penulisan wahyu pada masa Rasulillah

Pada pembahasan kali ini akan dijelaskan mengenai sifat-sifat penulisan al-Qur’an pada masa Nabi:

1. Al-Qur’an telah tertulis secara sempurna sebelum nabi wafat.
2. Perintah Rasulullah SAW untuk menulis al-Qur’an masih bersifat umum dan tidak harus dikumpulkan dalam satu mushaf.
3. Penulisan al-Qur’an terselesaikan dengan menggunakan alat yang bermacam-macam
4. Belum tersusun surat-suratnya.

e) Faktor-faktor tidak adanya pengumpulan al-Qur’an dalam satu mushaf pada masa Nabi

Pada masa Rasullah SAW al-Qur’an tidak dikumpulkan dalam satu mushaf dikarenakan beberapa faktor :

1. Turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur.
2. Urutan ayat al-Qur’an tidak berdasarkan turunnya ayat tersebut, melainkan berdasarkan apa yang ada di lauh al-mahfūz, jadi seandainya al-Qur’an disusun sesuai dengan turunnya ayat, maka akan bertentangan dengan susunan yang ada di lauh al- mahfūz.
3. Minimnya tenggang waktu antara wafatnya Rasulullah dengan ayat yang terakhir kali turun, sehingga waktu tersebut tidak mencukupi untuk mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf.
4. Tidak ada alasan yang kuat untuk mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf seperti faktor yang ada pada masa Abu Bakar.

4. Pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu Bakar

a) Sebab bimbangnya Abu Bakar dalam menerima pendapat Umar untuk mengumpulkan al-Qur’an

Abu Bakar bimbang dalam menerima pendapat Umar untuk mengumpulkan al-Qur’an, karena beliau beranggapan bahwa pengumpulan al-Qur’an dalam satu mushaf adalah bid’ah sehingga beliau hawatir akan terjadi sesuatu yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW atau diperintahkannya dan karena itu Abu Bakar berkata ,

"كيف أفعل شيئا لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قال ابن بطال : "إنما نفر أبو بكر أولا ، ثم زيد بن ثابت ثانيا ، لأنهما لم يجدا رسول الله صلى الله عليه وسلم فعله، فكرها أن يحلا أنفسهما محل من يزيد احتياطه للدين على احتياط الرسول

. Namun Sayyidina Umar bin Khattab terus memberi support dan berharap agar Sayyidina Abu Bakar dapat menerima idenya, dan pada akhirnya Sayyidina Abu Bakar menerima usulan Umar mengingat pentingnya hal tersebut.

b) Sebab pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu Bakar

Adanya pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu Bakar di karenakan kehawatiran para sahabat akan hilangnya al-Qur’an disebabkan syahidnya para uffadz al-Qur’an dalam perang Yamamah, jadi menghimpun al-Qur’an dalam satu mushaf akan menjaga al-Qur’an sampai akhir zaman.
c) Sebab-sebab terpilihnya Zaid bin Tsabit

Abu bakar menjelaskan tentang sifat-sifat yang membuatnya memilih Zaid bin Tsabit sebagai ketua panitia dalam mengumpulkan al-Qur’an sebagamana penjelasan sebagai berikut :

1. pemuda yang rajin
2. Pintar
3. Tidak fasiq
4. Salah satu penulis wahyu Rasulullah

Sahabat yang lain beranggapan bahwa alasan Abu Bakar dan Usman memilihnya sebagai ketua panitia ialah karena Zaid bin Tsabit memiliki tulisan yang bagus dan dia pernah membaca al-Qur’an sebanyak dua kali sebelum nabi wafat.

d) Metode pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu Bakar

Sesudah khalīfah Abu Bakar menerima usulan untuk pengumpulan al-Qur’an, beliau memerintah Umar dan Zaid bin Tsabit untuk memulai mengumpulkan al-Qur’an dengan menggunakan dua metode secara bersamaan, yaitu:

1. Tulisan yang ditulis pada masa nabi
2. Hafalan para sahabat

Dalil yang menunjukkan tentang dua metode tersebut adalah ucapan Zaid bin Tsabit :

فتتبعت القرآن أجمعه من العسب واللخاف ، وصدور الرجال

e) Lama waktu pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu Bakar

Pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu Bakar menghabiskan waktu sekitar lima belas bulan yang dimulai setelah perang Yamamah yang terjadi pada akhir tahun ke 11 H atau pada awal tahun ke 12 H sampai sebelum wafatnya Abu Bakar yaitu bulan ke enam tahun 13 H, sebagaimana ucapan Zaid bin Tsabit :

فكانت الصحف عند أبي بكر حتى توفاه الله
f) Penamaan al-Qur’an dengan al-Mushaf

Sesudah Zaid bin Tsabit menyempurnakan pengumpulan al-Qur’an, beliau Menyebutnya dengan al-Mushaf. Al-Suyuti meriwayatkan dari Ibn Asytah dia berkata,
"لما جمعوا القرآن فكتبوه في الورق، قال أبو بكر : التمسوا له اسما، فقال بعضهم: السِّفْر وقال بعضهم : المصحف ، فإن الحبشة يسمونه المصحف . وكان أبو بكر أول من جمع كتاب الله وسماه "المصحف".

Jadi Abu Bakarlah yang pertama kali mengumpulkan al-Qur’an dan memberinya nama dengan mushaf.


5. Pengumpulan al-Qur’an pada masa Usman

a) Ide untuk mengumpulkan al-Qur’an

Ketika Usman bin Affan mendengar kabar yang disampaikan oleh Hudzaifah Ibn Yaman, beliau mengumpulkan sahabat guna bermusyawarah tentang hal tersebut yang kemudian menghasilkan tiga kesepakatan :

1. Menyalin mushaf yang pertama
2. Mengirimkan salinannya kebeberapa daerah
3. Membakar lembaran-lembaran mushaf yang masih ada di tangan sahabat


b) Sebab pengumpulan al-Qur’an pada masa Usman

Sebab adanya pengumpulan mushaf pada masa Usman Bin Affan adalah:

1. Terjadinya perbedaan bacaan dalam al-Qur’an.
2. Banyaknya lembaran-lembaran al-Qur’an yang ada pada sahabat.

c) Metode pengumpulan al-Qur’an pada masa Usman

Setelah Usman Bin Affan menetapkan niatnya untuk menetapkan al-Qur’an, kemudian beliau memberikan prosedur pengumpulannya :

1. Berpijak pada mushaf yang dikumpulkan Zaid bin Tsabit pada masa Abu Bakar.
2. Pengawasan langsung oleh Usman Bin Affan.
3. Panitia penulis al-Qur’an harus merujuk kembali kepada Usman tentang tata cara penulisannya.
4. Mengkroscek kembali tulisan mereka kepada para pembesar sahabat dalam hal cara membacanya lebih-lebih dalam ayat yang banyak cara bacaannya.

d) Penyebaran al-Qur’an ke beberapa daerah

Sesudah penyalinan al-Qur’an terselesaikan, Usman mengembalikan lembaran al-Qur’an yang asli kepada Sayyidah Hafshah dan memerintahkan untuk mengirimkan salinan-salinan mushaf ke beberapa daerah supaya dapat menghilangkan perbedaan bacaan al-Qur’an di antara mereka, dan beliau sendiri menyimpan satu mushaf yang di sebut “mushaf al Imam”. Mengenai jumlah salinan mushaf, para Ulama terjadi perberbedaan pendapat:

1. Menurut al-Jazzari ada 8 mushaf
2. Menurut al-Dani ada 4 mushaf.
3. Menurut Ibn Hajar ada 5 mushaf.

Dari perbedaan tersebut dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama mufakat bahwa salinan mushaf ada 5 yaitu yang di sebarkan ke Kufah, Bashrah, Syam, Madinah, dan yang di pegang sendiri oleh Usman. Sedangkan yang masih menjadi perbedaan adalah Mekkah, Bahrain, dan Yaman.

e) Pembakaran lembaran-lembaran al-Qur’an yang lain, dan respon positif sahabat.

Setelah Usman mengirimkan salinan-salinan mushaf ke beberapa daerah, beliau memerintahkan untuk membakar lembaran-lembaran mushaf yang masih berada di tangan para sahabat, dan para sahabatpun memberikan respon positif akan hal itu termasuk Abdullah Ibn Mas’ud walaupun pada awalnya beliau menolaknya.





















DAFTAR PUSTAKA

1. Adnan, Taufik. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an: Forum Kajian Budaya dan Agama. Jogjakarta, 2001.
2. Ahmad Abd al-Rahman Isa. Kuttāb al-Wahy, Dār al-Liwa’. 1400
3. Ahmad bin Hajar al-Asqalāni. Fath al-Bāri, Beirut: Dār al-Ma’rifah.
4. Ahmad Bin Muhammad Bin Hanbal. Al-Musnad, al-Qāhirah: Dār al-hadīts. 1995.
5. Al-Bukhāri. Shahīh al-Bukhārī, Damaskus: Dār al-fikr. 1981.
6. Ali bin Sulaimān al-Ubaid. Jam’ al-Qur’an al-Karim.
7. Al-Qatthan, Manna. Pengantar Ilmu Studi Al-Qur’an: Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, 2006.
8. Al-Suyūti. Al-Itqān fi Ulūm al-Qur’an, Beirut: Muassasat al-kutub al-Saqāfiyyah. 1996.
9. Al-Thabari. Tarikh al-Rasul wa al-Mulūk. Qahirah: Dār al-Ma’ārif.
10. Al-Utsaimin, Muhammad bin Shaleh, Dasar-dasar Penafsiran al-Qur’an, Semarang: Dina Utama, 1989.
11. Al-Zamakhsyari. al-Kassyāf, Damaskus: Dār al-fikr.
12. Al-Zarqānī. Manāhil al-Irfān Fi Ulūm al-Qur’an, al-Qāhirah: Dār Ihya’ Kutub al-Arabiyyah. 1918.
13. Anshari, Hafizh. Ensiklopedi Islam Juz 2: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta, 1999.
14. Anwar, Rosibon, Ulumul Quran,pustaka setia, bandung
15. As-Shalih, Subhi. Mabahits fi Ulumil Qur’an. Beirut, 1985.
16. As-Suyuti, Jalaluddin. Penerjemah, Ammar Farikh Marzuki. Samudra Ulumul Qur’an Jilid I: PT Bina Ilmu. Surabaya, 2006.
17. Bard da-din muhammad bin abdullah az-zarkasyi, al-Burhan fi ulumul al-Quran
18. H.A.R.Giibb, islam Historica, sebelumnya berjudul Muhammadanism
19. Ibn Qayyim al-Jauzi. Dhau’ al-Munir ala al-Tafsir, Riyad: Muassasah al-Nur.
20. Ibnu Manzhur, Lisan al_Arab, Beirut: Dar al-Shadir, 1300 H. Juz 1
21. Muhammad Badr al Din al zarkasyi, Al Burhan fi ulum Al-Quran, (Darul Ma’rifah, Beirut, 1990),
22. Muslim. Shahīh Muslim, Beirut: Dār al-kutub al-ilmiyyah.
23. Qaththan, Manna’ Khalil, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, t.t: Mansyurat al-Ashr al-Hadits, 1973.
24. Shihab, M. Quraisy, Mu’jizat al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997
25. Thaba’thaba’i, Allamah M.H., Mengungkap Rahasia al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1987.
26. Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ulumul Qur’an: Karya Abditama. Surabaya, 1997.














PENDAHULUAN

Al-Qur’an Al-Karim adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mengandumg hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafat, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu ataupun sebagai makhluk sosial, sehingga dapat bahagia hidup baaik di dunia dan juga di akhirat.
Al-Qur’an Al-Karim dalam menerangkan hal-hal tersebut di atas, ada yang dikemukakan secara terperinci, seperti yang berhubungan dengan hukum perkawinan, hukum warisan dan sebagainya, dan ada pula yang dikemukakan secara umum dan garis besarnya saja. Yang diterangkan secara umum dan dan garis-garis besarnya ini, ada yang diperinci dan dijelaskan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW dan ada yang di arahkan pada kaum muslimin sendiri yang disebut ijtihad.
Begitu pula halnya tafsir Al-Qur’an berkembang mengikuti irama perkembangan masa dan memenuhi kebutuhan manusia dalam suatu generasi. Tiap-tiap masa dan generasi menghasilkan tafsir-tafsir al-Qur’an yang sesuai dengan kebutuhan dan keperluan generasi itu dengan tidak menympang dari hukum-hukum agama.
Allah menurunkan al-Qur’an untuk dibaca dengan penuh penghayatan (Tadabbur), meyakini kebenarannya dan berusaha untuk mengamalkannya. Allah berfirman,” Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
Oleh karena itu, agar kita bisa mewujudkan perintah Allah tersebut, seorang harus bisa memahami makna dan kandungannya dan disini sangat diperlukan perangkat metodologi penafsiran yang berfungsi mengarahkan penafsiran itu sendiri. Dengan demikian, maka sangat penting sekali kita mengetahui metodologi tafsir.

PENGERTIAN METODOLOGI DAN SISTEMATIKA
BAB I
PEMBAHASAN

A. Pengertian Metodologi dan sistematika

1. Pengertian Metode dan Metodologi
Dalam bahasa inggris kata metode ditulis method yang berarti jalan (way), cara (procedure) . Dalam bahasa arab metode disebut manhāj, tharīqah dan uslūb . Dalam bahasa Indonesia, metode mengandung arti “cara teratur yang digunakan untuk memudahkan pelaksanaan suatu pekerjaan agar tercapai sesuatu yang dikehendaki ”.

Sedangkan metodologi berasal dari bahasa yunani yaitu methodos dan logos. methodos dikenal dengan metode yang diartikan dengan cara. Sedangkan logos adalah ilmu pengetahuan. Berdasarkan pengertian tersebut, metodologi adalah ilmu tentang metode atau uraian tentang cara-cara dan langkah-langkah yang tepat (untuk menganalisa sesuatu); penjelasan serta penerapan cara . Dari makna tersebut dapat dibedakan pengertian antara metode dan metodologi.

2. Pengertian Sistem dan Sistematika
Kata sistem dalam bahasa Indonesia memiliki arti perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas .
Sedangkan sistematika adalah urutan atau susunan. Dalam kamus besar bahasa indonesia ditulis bahwa sistematika adalah pengetahuan tentang klasifikasi (penggolongan) .

Menurut para ahli tafsir Sistematika (tartib) penyusunan dalam penulisan kitab tafsir dikenal ada tiga macam :
1. Sistematika Mushafi
Yaitu penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat dalaam mushaf, dengan dimulai dari surat al-fǎtihah, al-baqarah, dan seterusnya sampai al-nǎs
2. Sistematika Nuzuli
Yaitu penafsiran al-Qur’an berdasarkan kronologis turunnya surat-surat al-Qur’an, contohnya adalah kitab al-tafsīr al-hadīs karyanya Muhammad ‘Izzah Darwazah.
3. Sistematika Maudhǔ’i
Yaitu menafsirkan al-Qur’an berdasarkan topik-topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan topic tersebut dan kemudian ditafsirkan.

3. Perbedaan Metodologi dan Sistematika
 Metodologi : ilmu tentang metode atau pembahasan tentang cara-cara dan langkah-langkah yang tepat (untuk menganalisis sesuatu).
 Sistematika : urutan atau tertib

B. Pengertian Tafsīr, Ta’wīl dan Terjemah

1. Pengertian Tafsir
a) Menurut Etimologi (Bahasa)
Tafsir menurut bahasa (etimologi) adalah menjelaskan (al-īdhah), menerangkan (al-tibyān), menampakan (al-izhār), menyibak (al-kasyf) dan merinci (al-tafsīl) . Kata tafsir mengikuti wazan “taf’īl” dari kata al-fasr yang berarti al-bayān dan al-kasyf . Dalam lisan arab disebutkan bahwa kata merarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata “al-tafsīr” berarti menyingkap maksud suatu lafad yang muskil. Sebagaimana firman Allah SWT:

ولا يأتونك بمثل الا جئناك بالحق واحسن تفسيرا
“Tidaklah mereka datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik tafsirnya”.
Sebagian ulama’ yang berpendapat bahwa kata tafsir aadalah kata kerja yang terbalik, yakni berasal dari kata “safara” yang juga memiliki makna menyingkap (al-kasyf) seperti contoh سفرت المرأة سفورا artinya perempuan itu menyingkap/membuka cadarnya.
Menurut Al-Raghib, kata “al-fasr” dan “al-safr” adalah dua kata yang berdekatan makna dan lafadnya. Tetapi kata digunakan untuk (menunjukan arti) menampakan (mendzahirkan) makna yang absrtak. Sedangkan kata digunakan untuk menampakan benda kepada penglihatan mata .
Ada juga yang mengemukakan bahwa kata tafsir berasal dari “tafsirah”| yakni urine yang dipergunakan untuk menunjukn adanya penyakit. Dan para dokter menrlitinya berdasarkan urine untuk menunjujakan adanya penyakit bagi seseorang . Maka kita dihadapkan pada dua hal, yaitu tafsirah, materi yang diamati dokter untuk menyingkap suatu penyakit. Dan tindakan pengamatan itu sendiri dari ihak dokter. Ini berarti tafsir adalah menemukan penyakit, menuntut adanya materi (objek) dan pengamatan (subjek)

b) Menurut Terminologi (Istilah)
Menurut Abu Hayan tafsir adalah
علم يبحث عن كيفية النطق بألفاظ القرأن ومدلولاتها واحكامها الافرادية والتركيبية ومعانها التى تحمل عليها حالة التركب وتتمات لذلك

ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh al-Qur’an, indicator-indikatornya, masalah hukum baik yang independen maupun yang berkaitan dengan yang lain serta tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi struktur lafazh yang melengkapinya.
Menurut Al-Zakarsyi,
التفسير : علم يفهم به كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه واستخراج احكامه وحكمه
“Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menerangkan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya”. .
Pengertian tafsir menurut istilah banyak pendapat yang mengungkapkannya, namun prinsipnya sama yakni saling melengkapi, sehingga dapat disimpulkan menjadi 2, yaitu :
a. Tafsir dalam Arti Sempit
Menerangkan lafazh-lafal ayat dan I’robnya serta menerangkan segi-segi sastera susunan al-Qur’an dan isyarat-isyarat ilmiyahnya. Pengertian tafsir semacam ini lebih banyak merupakan penerapan kaidah-kaidah bahasa saja, daripada penafsiran dan penjelasan kehendak Allah dan petunjuk-Nya.

b. Tafsir dalam Arti Luas
Menjelaskan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan ajaran-ajaran hukum serta hikmah Allah didalam mensyari’atkan hokum-hukum kepada umat manusia dengan cara yang menarik hati, membuka jiwa, dan mendorong orang untuk mengikuti petunjuk-Nya.
Jadi, dapat dipahami bahwa tafsir pada dasarnya adalah rangkaian penjelasan dari pembicaraan (teks al-Qur’an) atau penjelasan lebih lanjut tentang ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh seorang mufassir.
2. Pengertian Ta’wil
a) Menurut Etimologi (Bahasa)
Kata ta’wīl berasal dari kata al-awl, yang berarti kembali (ar-rujǔ’) aatau dari kata al-ma’ǎl yang artinya tempat kembali (al-mashīr) dan al-aqībah yang berarti kesudahan. Ada yang menduga bahwa kata ini berasal dari kata al-iyǎlah yang berarti mengatur (al-siyasah)

b) Menurut Terminologi (Istilah)
Dari pengertian ta’wil secara bahasa tersebut, maka menuru istilah ta’wil memiliki dua makna/ pengertian, yaitu :
1. Ta’wil kalam dengan arti suatu makna yang menjadi tempat kenbali perkataan pembicara atau suatu makna yang kepadanya suatu kalam dikembalikan. Kalam itu biasanya kembali pada makna aslinya yang merupakan esensi yang dimaksud. Hal ini ada dua macam yakni: insya’ dan ikhbar. Insya’ adalah amr.
a. Ta’wil Al-Amr, penakwilan pada perbuatan yang diperintahkan, misalnya hadis yang diriwayatkan dari aisyah berkata: Rasulallah ketika ruku’ dan sujud mengucapakan : سبحانك اللهم وبحد ك اللهم اغفر لى beliu rasulallah SAW mena’wilkan al-Qur’an, yakni :
فسبح بحمد ربك واستغفره إنه كان توابا
b. Ta’wil Al-Ikhbar, pena’wilan pada esensi berita yang benar-benar terjadi misalnya firmaan Allah SWT :

وَلَقَدْ جِئْنَاهُم بِكِتَابٍ فَصَّلْنَاهُ عَلَى عِلْمٍ هُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُون( )هل ينظرون إلا تأويله يوم يأتي تأويله يقول الذين نسوه من قبل قد جاءت رسل ربنا بالحق فهل لنا من شفعاء فيشفعوا لنا أو نرد فنعمل غير الذي كنا نعمل قد خسروا أنفسهم وضل عنهم ما كانوا يفترون

2. Ta’wil kalam pada penafsirannya dan menjelaskan maknanya. Pengertian inilah yang yang dimaksud ibnu jarir dalam tafsirnya.
Muhammda Husayn Al-Dzahabi mengemukkan, menurut pandangan salaf ta’wil memiliki dua pengertian juga, yaitu :
1. Takwil adalah menjelaskan suru pembicaraan (teks) atau menerangkan maknya tanpa mempersoalakan apakah penjelasan dan keterangan itu sesuai dengan yang tersurat atu tidak.
2. Talwil adalah subtansi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu sendiri (nafs al-mufrad bi al-kalǎm). Kalau pembicaarn itu berupa tuntutan, maka ta’wilnya adalah perbuatan yang dituntut oleh ta’wil itu sendiri. Jika pembicaraan itu berupa berita, maka ta’wilnya suntansi dari sesuatu yang diinformasikan.
Jika penjelasan tersebut diamaati dengan seksama, makna pertama dan kedua sangan berbeda. Makna yang pertama memandang ta’wil identik dengan benar dengan tafsir, sehingga dengan demikian makna ta’wil berwujud pada pemahaman yang bersifat dzimmi (penalaran) selain lafal (teks). Sedangkan makna tafsir yang kedua semata-mata hakikay sesuatu yang terdapat dibalik (diluar) sesuatu itu sendiri.
Sedangkan menurut ulama’ khalaf (komtemporer) yang didukung oleh ulama’ fuqaha (akli hukum islam), mutakallimin (para teolog) dan ahli hadits mengartikan bahwa ta’wil sebagai pengalihan lafadz diri makna yang kuat (rǎjih) kepada ma’na yang lain yang dikuatkan atau dianggap kuat (marjǔh) karena ada dalil yang mendukung. Misalnya kata yadun dala firman Allah:

يد الله فوق ايديهم
“Tangan Allah di atas tangan mereka”
Makna yang kuat dari kata yadun adalah tangan, sedangkan makna yang dikuatkan (marjǔh) nya adalah kekuasaan.

3. Pengertian Terjemah
a) Menurut Etimologi (Bahasa)
Kata terjemah berasal dari bahasa arab, “tarjama” yang berarti menafsirkan dan menerangkan dengan bahasa yang lain (fassara wa syaraha bi lisǎnin ǎkhar), kemudian kemasukan ta’ marbutah menjadi al-tarjamatun yang artinya pemindahan/penyalinan dari suatu bahasa ke bahasa lain (naql min lighatin ilǎ ukhra)

b) Menurut Terminologi (Istilah)
Kata terjemah dapat dibagi menjadi pada dua bagian :
1. Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafadz-lafadz dari satu bahasa ke lafadz-lafadz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
2. Terjemah maknawiyah atau terjemah tafsiriyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat denga tertib kata-kata bahasa asal atau tanpa memperkatikan susunan kalimatnya.

4. Persamaan dan Perbedaan Tafsir, Ta’wil dan Terjemah
a. Persamaan dan Perbedaan diantara Ketiganya.
Dari beberapa penjelasan yang telah penulis paparkan tentang definisi Tafsir, Ta’wil dan Terjemah dapat diketahui bahwa antara ketiganya ada persamaan dan juga ada perbedaan .
1) Persamaan Tafsir, Ta’wil dan Terjemah
a) Ketiganya menerangkan makna ayat-ayat al-Qur’an
b) Ketiganya sebagai sarana untuk memahami al-Qur’an
2) Perbedaan Tafsir, Ta’wil dan Terjemah
a) Tafsir : menjelaskan makna ayat yang kadang-kadang dengan panjang lebar, lengkap dengan penjelasan hokum-hukum dan hikmah yang dapat diambil dari ayat itu dan seringkali disertai dengan kesimpulan kandungan ayat-ayat tersebut
b) Ta’wil : mengalihkan lafadz-lafadz ayat al-Qur’an dari arti yang lahir dan rǎjih kepada arti lain yang samar dan marjuh.
c) Terjemah : hanya mengubah kata-kata dari bahasa arab kedalam bahasa lain tanpa memberikan penjelasan arti kiandungan secara panjang lebar dan tidak menyimpulkan dari isi kandungannya.
b. Pesamaan dan Perbedaan antara Tafsir dan Ta’wil
Ada beberapa pendapat ulama’ tentang persamaan dan perbedaan antara tafsir dan ta’wil, diantaranya:
1) Menurut Abu Ubaidah, tafsir dan ta’wil memiliki satu arti kerena keduanya merupakan sinonim sehingga yang satu dan lainnya digunakan untuk pengertian yang sama. Ada kitab tafsir yang menggunakan kata ta’wil untuk maksud tafsir dan sebaliknya. Misalnya, kitab jami’ al-bayǎn fī ta’wīl al-Qur’an karya al-Thabari dan kitab muhasin al-ta’wil karya Muhammad Jalal al-Din al-Qasimi
2) Menurut Abu Nashr Al-Qusyairi, tafsir hanya terbatas pada ayat-ayat al-Qur’an yang lebih mengandalakan pada penglihatan dan pendengaran. Sedangkan ta’wil pemahamannya lebih banyak bergantung pada hal-hal yang bersifat ijtihad. Dengan kata lain, tafsir lebih banyak mengacu pada riwayat (pendengaran atau periwayatan), adapun ta’wil lebih banyak pada dirãyah (analisis) .
3) Abu Thalib al-Taghlabi mengemukakan bahwa kalau tafsir adalah menerangkan objek lafadz (redaksi teks), sedangkan ta’wil adalah menjelaskan subtansi teks (bathin al-lafzh).
4) Menurut Al-Raghib, tafsir lebih umum daripada ta’wil. Istilah tafsir lebih banyak digunakan dalam konteks lafazh dan mufradǎt. Sedangkan ta’wil lebih banyak digunakan untuk persoalan makna (isi) dari rangkaian teks secara keseluruhan (mujmal)


C. Pengertian Metodologi Tafsir
Dari beberapa pengertian tentang metodologi dan sistematika, kemudian tentang apa itu tafsir, ta’wil dan terjemah serta persamaan dan perbedaannya, maka sekarang penulis akan menjelaskan tentang pengertian metodologi tafsir.
Sebagaimana yang telah penulis kemukakan diatas bahwa metodologi itu berasal dari bahasa yunani yaitu methodos dan logos. methodos dikenal dengan metode yang diartikan cara. Sedangkan logos adalah ilmu pengetahuan. Maka metodologi adalah adalah ilmu tentang metode atau uraian tentang cara-cara dan langkah-langkah yang tepat (untuk menganalisa sesuatu). Sedangkan tafsir adalah rangkaian penjelasan dari pembicaraan (teks al-Qur’an) atau penjelasan lebih lanjut tentang ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh seorang mufassir.
Metodologi tafsir adalah ilmu tentang metode untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam ayat-ayat al-Qur’an. Sedangkan metode tafsir itu sendiri adalah seperangkat cara atau aturan yang harus ditaati ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
Berdasarkan makna tersebut, maka data dibedakan antara metode tafsir dan metodologi tafsir. Kalau metode tafsir merupakan cara-cara penafsiran al-Qur’an, sementara metodologi tafsir adalah ilmu tentang cara penafsiran itu. Pembahasan yang bersifat teoritis dan ilmiah tentang metode disebut analisis metodologis. Jika penbahasan itu nerkaitan eraat dengan cara penerapan metode itu terhadap ayat-ayat al-Qur’an disebut pembahasan metodik. Cara penyajian aatau formulasi tafsir disebut teknik atau seni penafsiran .
Jadi, metode tafsir merupakan aturan atau kaidah yang digunakan dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an sedangkan tekniknya ialah cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang tertuang dalam metode, senentara metodologi tafsir adalah pembahasan ilmiah atau ilmu tentang metode-metode penafsiran al-Qur’an.


KESIMPULAN

Dari beberapa uraian di atas, penulis akan menyimpulkan beberapa hal yang sangat penting yang berkaitan dengan pengertian metodologi tafsir. Antara lain:

1. Kata Metodologi berasal dari bahasa yunani yaitu methodos dan logos. methodos dikenal dengan metode yang diartikan cara atau jalan. Sedangkan logos adalah ilmu pengetahuan. Jadi, metodologi adalah adalah ilmu tentang metode atau uraian tentang cara-cara dan langkah-langkah yang tepat (untuk menganalisa sesuatu).

2. Kata tafsir para ulama’ berbeda pendapat ada yang mengatakah bahwa kata tafsir berasal dari kata fasara, ada juga pendapat kata tafsir berasal dari kata safara. Bahkan ada yang berpendapat bahwa kata tafsir berasal dari kata tafsirah.

3. Tafsir pada dasarnya adalah rangkaian beberapa penjelasan dari pembicaraan (teks al-Qur’an) atau penjelasan lebih lanjut tentang ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh seorang mufassir.

4. Tafsir, ta’wil dan terjemah ketiganya mempunyai persamaan dan juga mempunyai perbedaan. Persamaannya adalah ketiganya merupakan sarana untuk memahami al-Qur’an. Sedangkan perbedaannya sangat banyak yang menjelaskannya.

5. Metodologi tafsir sangat penting sekali untuk diketahui terutama bagi para mufassir, kerena bila seseoarang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tanpa menerapkan metode, maka penafsirannya akan keliru. Tafsir yang tidak menggunakan metode seperti inilah yang disebut tafsir bi al-ra’yi al-mahdh (tafsir yang berdasarkan pemikiran semata) dan penafsiran seperti inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW.




SEJARAH PERKEMBANGAN METODE TAFSIR
BAB II
A. PEMBAHASAN
Secara etimologi tafsir bisa berarti: الايضاح والبيان والشرح (penjelasan), الكشف (pengungkapan) dan كشف المراد عن اللفظ المشكل (menjabarkan kata yang samar ) .
Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya.
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Sebelum membahas lebih dalam sejarah tafsir pemakalah akan menerangkan pembagian metode tafsir dan definisi masing-masin metode.
1. Pembagian Metode Tafsir
Pengelompokkan macam-macam metode Tafsir
Metode tafsir Al-Qur’an dari segi bentuk sumber penafsirannya, ada 3 macam, yaitu:
1. Metode jTafsir Bi al-Ma’tsur / Bi al-Riwayah / Bi al-Manqul ,adalah cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang didasarkan atas sumber penafsiran Al-Qur’an sendiri dan Al-Hadits, dari riwayat sahabat dan tabi’in.
Contoh kitab yang mengunakan metode al-Ma’sur
 Jami’al Bayan Fi Tafiri Al-Qur’an: Ibnu Jarir Ath Thabari (wafat 310 H).
 Al Kasyfu Wa al-Bayan Fi Tafsiri Al-Qur’an: Ahmad Ibnu Ibrahim (427 H).
2. Metode Tafsir bi al-Ra’yi / Bi al-Dirayah Bi al-Ma’qul,yaitu cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang didasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiraan mufassir terhadap tuntutah kaidah bahasa Arab dan kesusasteraannya.
Contoh kitab yang mengunakan metode al-Ra’yi
 Mafatihu al Ghaib: Fahruddin Ar Razi (wafat 606 H).
 Anwaru Al Tanzil wa Haqaiqu al ta’wil: Imam Al baidhawi (692 H).
3. Tafsir bil-isyarah atau tafsirul isyari: adalah Tafsir ini biasa dipakai oleh kalangan sufi karena dalam penafsirannya lebih condong pada isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik ayat-ayat al-Quran yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya ataupun Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an yang diintepretasikan dengan memalingkan maknanya kapada makna yang lain (ta’wil).takwil Al Qur’an berbeda dengan lahirnya lafal atau ayat, karena isyarat-isyarat yang sangat rahasia yang hanya diketahui oleh sebagian ulul ‘ilmi yang telah diberi cahaya oleh Allah swt dengan ilhamNya. Atau dengan kata lain, dalam tafsirul isyari seorang Mufassir akan melihat makna lain selain makna zhahir yang terkandung dalam Al Qur’an. Namun, makna lain itu tidak tampak oleh setiap orang, kecuali orang-orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah swt. [30
 Al Jawahirul Fi tafsir Al-Qur’an: Thanthawi Al Jauhari (wafat 1358 H).
 Tafsir al Maraghi: Ahmad Musthafa Al Maraghi (wafat 1371 H/ 1952 H).
A. Metode tafsir bila ditinjau dari segi metode terhadap tafsiran ayat-ayat Al- Qur’an, maka metode tafsir ada 4 metode
1. Metode tafsir Muqarin / Komparasi, yaitu membandingkan ayat dengan ayat yang berbicaara dalam masalah yang sama, ayat dengan hadits (isi dan matan), antara pendapat mufassir dengan mufassir lain dengan menonjolkan segi-segi perbedaan
 Al Jami’ Li ‘ahkam ‘al-Qur’an: Imam Al qurthubi (wafat 671).
2. Metode Tafsir Ijmaly, yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayat Al-Qur’an secara global saja yakni tidak mendalam dan tidak pula secara panjang lebar, sehingga bagi orang awam akan lebih mudah untuk memahaminya.
 Tafsir Al –Qur’an Al Karim : M. Farid Wajdi
 Tafsir Wasith: Majma’ul bukhutsil Islamiyah.
3. Metode Tafsir Tahlily, yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara urut dan tertib sesuai dengan uruaian ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dari awal Surat Al Fatihah hingga akhir Surat An Nas.
 Mafatihul ghaib: Fahruddin Ar Razi (wafat 606 H).
 Tafsir Al Maraghi: Ahmad Musthafa Al Maraghi (wafat 1371 H/ 1952 M).
4. Metode Tafsir Maudlu’iy. Yaitu suatu penafsiran dengan cara mengumpulkan ayat mengenai satu judul / satu topik tertentu. dengan memperhatika masa turunnya dan asbabun nuzul ayat, serta dengan mempelajari ayat-ayat tersebut secara cermat dan mendalam, dengan memperhatikan hubungan ayat yang satu dengan ayat yang lain di dalam menunjuk suatu pemasalaha, kemudian menyimpulkan masalah yang dibahas dari dilalah ayat-ayat yang ditafsirkan secara perpadu.
 Al Mar’ah .Al-Qur’an Fi Al-Qur’an Al-Karim : Abbas Al Aqqad.
 Ar Riba Fi Al-Qur’an Al-Karim : Abul Ala Al Maududi.
B. Metode tafsir bila ditinjau dari segi coraknya atau pendekatan kemampuan mufassir
Kemunculan corak-corak tafsir tidak lepas dari kemampuan para mufasir itu sendiri, diantara corak tafsir adalah corak tafsir fiqhy, corak tafsir falsify, corak tafsir ilmy, corak tafsir tarbawy, corak tafsir ahklaqy, corak tafsir I’tiqady, corak tafsir sufy.
Corak tafsir fiqhy [hukum] yaitu tafsir yang berorintasi pada ayat-ayat hukum dalam al-Quran [ayat al-Ahkam];
 al-Ahkam al-Quran Ibn al-Arabi karnagan Abu Bakar Muhammad bin Abdullah;
 Ahkam al-Quran al-Kiya al-Harisi karya al-Kiya al-Harisi
Corak tafsir falsify [filsafat] yaitu tafsir pendekatan logika pemikiran filsafat
Corak tafsir ilmy [ilmiah] yaitu tafsir pendekatan keilmuan dalam rangka mengungkapka al-Quran.
 Harun yahya
 Ta-tafsir al-Ilmi li al-Ayat al—Kawniyah fi al-Quran; karya Hanafi Ahmad
Corak tafsir tarbawy[pendidikan] yaitu yaitu tafsir yang berorintasi pada ayat-ayat tentang pendidikan dalam al-Quran [ayat at-tarbawi];
 Namadzij Tarbawiyah min al-quran al-Karim; karya Ahmad Zaki Tafahah
 Manhaj al-Quran fi at-Tarbiyah; karya Muhammad syadid
Corak tafsir ahklaqy [akhlaq] yaitu yaitu yaitu tafsir yang berorintasi pada ayat-ayat tentang pendidikan ahkalaq dalam al-Quran;
 Tafsir an-Nasafi karya al-Imam al-Jalil al-Alamah
Corak tafsir sufy yaitu yaitu yaitu tafsir yang berorintasi pada sufy.
Selain corak-corak tersebut banyak lagi corak yang lain.dimana kemunculan sangat tergantung pada latar belakang seorang mufassir, mazhab yang dianut. Serta dinamika tuntutan perubahan zaman yang terjadi .
2. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi empat periode yaitu :
1. Sejarah tafsir al-Quran
Sesungguhnya penafsiran al-Quran sudah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad Saw.[571-632M] [periode mutaqaddimiin 1-4 hingga tabi’ at-Tabi’in, periode mutaahkiriin 4-12 periode baru 12-sekarang] dan masih berlangsung hingga sekarang,bahkan pada masa akan mendatang.penafsiran al-Quran sungguh telah menghabiskan waktu yang sangat panjang dan melahirkan sejarah tersendiri bagi pertumbuhan dan perkembang ilmu al-Quran.dan upaya menelusuri sejarah penafsiran al-Quran sangat panjang dan tersebar luas di segenap penjuru dunia apalagi menguraikan secara panjang lebar dan detil.

a. Periode Nabi Muhammad Saw.
Al-Quran menegaskan bahwa tugas utama nubuwwah Nabi Muhammad Saw.adalah menyampaikan muatan al-Quran.berdasarkan dengan itu,Nabi Muhammad diberi otoritas untuk menerangkan atau menafsirkan al-Quran dan Nabi Muhammad Saw. Telah dinobatkan sebagai mufassir pertama. Dalam [QS sl-maidah,5:67]
                   ••  •      
67. Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.[al-maaidah 67]
                
27. Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, Yaitu kitab Tuhanmu (Al Quran). tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah kalimat-kalimat-Nya. dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari padanya.[al-kahfi 27]
Dalam melaksanakan tugas tersebut ada campur tangan Allah. Seperti yang tercamtu dalam al-Quran [ar-Rahmaan 1-4 dan an-Najm 45]
          
1. (tuhan) yang Maha pemurah,2. Yang telah mengajarkan Al Quran.3. Dia menciptakan manusia.4. Mengajarnya pandai berbicara.[ar-rahmaan 1-4]
Adapun sumber sumber tafsir pada masa Rasullah adalah al-Quran dan Hadis,serta bimbingan Allah dan Malaikatnya secara langsung, yang disebut dengan Tafsir An-Naby atau Tafsir al-Ma’sur. Dan Hanya beliau sendirilah sebagai mufassir tunggal .dalam hal ini. Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an pada saat itu secara ijmali, artinya tidak memberikan rincian yang memadai, pada zaman Nabi dan Sahabat, pada umumnya mereka adalah
ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat [asbab al-nuzul], serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi ketika ayat-ayat al-Qur’an turun. Dengan demikian mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat.Maka, pada kenyataannya umat pada saat itu, tidak mengitu membutuhkan uraian yang rinci tetapi cukup dengan isyarat dan penjelasan secara global [ijmal]. Itulah sebabnya Nabi tak perlu memberikan tafsir yang detail ketika mereka bertanya tentang pengertian suatu ayat atau kata di dalam al-Qur’an Seperti lafal [ ظلم ] dalam ayat 82 surah al-An’am :
           
82. Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.(al-an’am 82)
Ayat ini cukup mengganggu pikiran ummat pada saat itu, karena mengandung makna bahwa mereka yang mencampuradukan iman dengan aniaya tidak akan memperoleh keamanan dan petunjuk. Ini berarti, seakan-akan percuma mereka beriman karena tak akan bebas dari azab, sebab mereka percaya bahwa tak ada di antara mereka yang tidak pernah melakukan aniaya. Tetapi, mereka merasa tenang dan puas setelah Nabi saw menafsirkan [ ظلم ] di dalam ayat itu dengan [ شرك ] dengan mengutif ayat 13 surah al-Lukman, sebagai berikut :
               
13. Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".[al-Luqman 13]
Berdasarkan kenyataan historis tersebut, dapat dikatakan bahwa kebutuhan ummat Islam
saat itu terpenuhi olah penaafsiran yang singkat [global], karena mereka tidak memerlukan penjelasan yang rinci dan mendalam. Maka tidak dapat dimungkiri bahwa memang pada abad pertama berkembang metode global [ijmali] dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, bahkan para ulama yang datang kemudian melihat bahwa metode global [ijmali] terasa lebih praktis dan mudah dipahami, kemudian metode ini banyak diterapkan. Ulama yang menggunakan dan menerapkan metode ijmali pada periode awal
para sahabat yang tergabung dalam periode ini baru menafsirkan al-Quran setelah Nabi wafat.
b. Periode Sahabat
Baru setelah beliau wafat, beberapa sahabat mulai menafsirkan al-Qur’an dan mengajarkan pemahaman mereka atas al-Qur’an kepada kaum Muslimin yang lain. Dalam hal ini, sumber utama penafsiran mereka adalah al-Qur’an senndiri,yaitu penyataan al-Qur’an yang mempunyai relevansi yang sama dengan pernyataan al-Qur’an lain yang sedang dibhas dan ditafsirkan. Pada periode Sahabat cara penafsiran al-Quran dengan cara al-Ma’sur,al-Ra’yu sahabat sendir atau ijtihad sahabat tentang tafsi dan
,al-Muqarin membandingkan metode keduanya dan metode ijmaly Selain empat al-khulafa’ al-rasyidun, disarjana-sarjan tafsir yang diakui kehebatannya dari periode Islam yang awal ini antara lain adalah ‘Abd Allah ibn ‘Abbas (w. 687), ‘Abd Allah ibn Mas’ud (w. 653), Ubayy ibn Ka’b (w. 640), Zayd ibn Tsabit (w. 665), Abu Musa al-Asy’ari (w. 664), dan ‘Abd Allah ibn Zubayr (w. 692). Di antara mereka, yang paling terkemuka adalah ‘Abd Allah ibn ‘Abbas yang mendapatkan julukan turjuman al-Qur’an (penafsir al-Qur’an). Selain julukan hibr al-ummah (penjaga umat) dan bahr al-‘ulum (lautan ilmu).
c. pada masa tabi’in:
Dengan berlalunya waktu dan wafatnya para mufassir dari kalangan sahabat, sementara belum seluruh ayat-ayat al-qur’an tuntas dijelaskan. Maka para tabi’in pun mulai memasuki bidang ini. Terdapat tiga aliran tafsir utama yang dikembangkan pada pertengahan abad pertamaHijrah oleh para tabi’in ini. Pertama adalah aliran Mekkah yang pakarnya adalah Ibn ‘Abbas, dengan murid-murid seperti Sa’id al-Jubayr (w. Sekitar 712 atau 713). Mujahid ibn Jabr al-Makki (w. 722). ‘Ikrimah (w. 723). Thawus ibn Kaysan al-Yamani (w 724) dan ‘Atha’ ibn Abi Rabah (w. 732). Kedua adalah aliran Irak yang mengakui Ibn Mas’ud sebagai imamnya. Murid-muridnya antara lain adalah ‘Alqama ibn Qays (w. 720), al-Aswad ibn Yazid (w. 694), Masruq ibn al-Ajda’ (w. 682), Mara al-Hamadani (w. 695), ‘Amir al-Sya’bi (w. 723), al-Hasan al-Bashri (w. 738), Qatada al-Sadusi (w. 713). Terakhir adalah aliran Madinah yang, sebagai pusat kekhalifahan Islam, penuh dengan para sahabat dan sarjana-sarjana Muslim terkemuka di sini adalah Ubayy ibn Ka’b. Murid-muridnya antara lain adalah Abu al-‘Aliya (w. 708), Muhammad ibn Ka’b al-Qarzi (w. 735), dan Zayd ibn Aslam (w. 747),
Pada periode tabi’in metode yang banyak digunaka dalam menafsirkan al-Quran adalah Metode al-Muqarin dan al-Maudu’I serta metode sebelumnya [metode yang diterapkan oleh sahabad-sahabad Nabi] karna para Tabi,in hanya meneruskan pejuangan ulama-ulama sebelumnya.
d. Pada masa tabi’ at-tabi’in:
Meskipun begitu, ada segolongan ahli dari berbagai kota yang mengumpulkan riwayat dari Nabi SAW, sahabat, atau tabi’inl mereka termasuk periode tababi’ at-tabi’in (pengikut para babi’in), seperti: Uyainah, Waki bin al-Jarrrah, Su’bah bin al-Hajjaj, Yazid bin Harun as-Salma, dan Abd bin Hamid. Mereka bukanlah mufassir (ahli yang mengkhususkan diri pada bidang tafsir), Melainkan imam-imam di bidang hadis. Oleh karenanya, tafsir bukan tujuan utama mereka. Tafsir pada periode ini hanya dijadikan sebagai salah satu bab dalam kitab hadis mereka. Para imam hadis inilah yang kemudian membuka jalan bagi penulisan karya tafsir yan gmenggunalkan riwayat.
Kelahiran tafsir dalam bentuk tertulis agaknya dapat dikemukakan secara pasti baru pada paruh terakhir abad ke-2 H/ke-8 M.peeiode ini diwakili oleh Muqatil bin Sulaiman dalam karyanya Tafsir Khams Mi’ah Ayah min al-Qur’an (Tafsir 500 Ayat Al-Qur’an), dan Kitab al-Wujuh wa an Naza’ir (Kitab tentang Arti dan Persamaan-persamaan).
Baru pada abad ke-4 H/ke-10 M, literature tafsir benar-benar lahir secara lengkap denganan adanya Jami’ al Bayan ‘an Ta’wil ayi Al-Qur’an (kumpulan keterangan ayat-ayat Al-Qur’an) yang ditulis oleh Ibnu Jarir at-Tabari (w. 923).dan pada periode tabi’I at-Tabi’in inilah banyak bermunculan macam-macam metode penafsiran al-Quran diantaranya metode tafsir tematik[al-Maudu’i] dalam metode ini,tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat. Ia mencoba mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial.dan para tabi’n at-Tabii’n tetap mengunakan metode penafsiran yang dilakukan pada masa sebelumnya.





B. KESIMPULSN

















Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi empat periode yaitu
a. Periode Nabi Muhammad Saw
Nabi Muhammad Saw. Telah dinobatkan sebagai mufassir pertama.
Dalam melaksanakan tugas tersebut ada campur tangan Allah.
Adapun sumber sumber tafsir pada masa Rasullah adalah al-Quran dan Hadis,serta Bimbingan Allah dan Malaikatnya secara langsung, yang disebut dengan Tafsir An-Naby atau Tafsir al-Ma’sur. Dan Hanya beliau sendirilah sebagai mufassir tunggal
Periode Sahabat
Pada periode Sahabat cara penafsiran al-Quran dengan cara al-Ma’sur,al-Ra’yu sahabat sendir atau ijtihad sahabat tentang tafsi dan al-Muqarin membandingkan metode keduanya dan metode ijmaly
b. pada masa tabi’in:
Dengan berlalunya waktu dan wafatnya para mufassir dari kalangan sahabat, sementara belum seluruh ayat-ayat al-qur’an tuntas dijelaskan. Maka para tabi’in pun mulai memasuki bidang ini. Terdapat tiga aliran tafsir utama yang dikembangkan pada pertengahan abad pertamaHijrah oleh para tabi’in ini adalah aliran Mekkah Kedua adalah aliran Irak Terakhir adalah aliran Madinah
Pada periode tabi’in metode yang digunaka dalam menafsirkan al-Quran adalah Metode al-Muqarin dan al-Maudu’I serta metode sebelumnya [metode yang diterapkan oleh sahabad-sahabad Nabi]
c. Pada masa tabi’ at-tabi’in:
dan pada periode tabi’I at-Tabi’in inilah banyak bermunculan macam-macam metode penafsiran al-Quran diantaranya metode tafsir tematik[al-Maudu’i] dalam metode ini,tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat. Ia mencoba mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial.dan para tabi’n at-Tabii’n tetap mengunakan metode penafsiran yang dilakukan pada masa sebelumnya.





BAB III
PEMBAGIAN TAFSIR
1. Berdasarkan sumber penafsiran.
Dalam Intepretasi terhadap ayat-ayat al-Quran, para ahli tafsir memiliki banyak perbedaan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sumber yang digunakan. Ada yang intepretasinya menggunakan ayat al-Quran itu sendiri, ada yang menggunakan Hadis, mengunakan ta’wil dan ada pula yang menafsiri al-Quran menggunakan akal pikiran mereka sendiri. Sehingga dengan melihat sudut pandang ini pembagian tafsir berdasarkan sumbernya dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Tafsir bi al-Ma’tsur.
Tafsir ini juga dapat dikatakan sebagai tafsir bi al-Riwāyah, maksud dari tafsir ini adalah penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan al- Qur’an itu sendiri, atau dengan menggunakan Hadits nabi ataupun dengan menggunakan perkataan dari para sahabat .
b. Tafsir bi al-Ma’qul.
Tafsir ini sesunggunya berpegang pada pemahaman mujtahid itu sendiri, dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’yu semata . namun seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metoda tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Ma’tsur. Yang tentunya harus dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain.Tafsir ini juga dapat dikatakan sebagai tafsir bi al-Ro’yi
c. Tafsir bi al-Isyaroh.
Tafsir ini biasa dipakai oleh kalangan sufi karena dalam penafsirannya lebih condong pada isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik ayat-ayat al-Quran yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya ataupun Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an yang diintepretasian dengan memalingkan maknanya kapada makna yang lain (ta’wil).

2. Berdasarkan Sistematika.
Pembagian tafsir yang selanjutnya adalah berdasarkan sistematika atau urut-urutannya yang dilihat dari kesesuaian penafsirannya dengan tartib ayat ataupun surat dalam al-Quran. Sehingga dapat dikelompkkan memjadi dua yaitu:
a. Musalsal.
Maksud dari kata musalsal disini adalah ikut tetib mushaf dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Jadi dimulai dari surat yang pertama hingga surat yang terahir.contoh tafsir yang memakai sistematika musalsal adalah kitab tafsir jalālain.

b. Maudu’i.
Maksud dari sistematika ini adalah menafsirkan ayat al-Quran berdasarkan tema-tema tertentu sesuai yang dibutuhkan atau Penafsiran dengan mengumpulkan ayat-ayat dengan topik tertentu, dengan memperhatikan asbab al-nuzul dan munasabah antar ayat. Kemudian menyimpulkan masalah yang dibahas dari dilalah ayat-ayat yang ditafsirkan secara terpadu. Sistematika semacam ini juga sering disebut dengan sistematika Tematik. Contoh kitab tafsir yang menggunakan sistematika ini adalah الـمــرأة فـي الـقــرأن الكــريـم karya Abbas al-Aqqad .
3. Berdasarkan Ideologi.
Pembagian tafsir yang selanjutnya adalah berdasarkan ideologi. Hal ini turut dipengarui oleh firqoh-firqoh yang ada dalam agama islam karena perbedaan sudut pandang aliran yang diorientasikan pada sejarah pada masa sahabat kala itu hususnya yang diawali oleh munculnya kelompok dari yang mendukung(fanatic) terhadap khalifah Ali bin Thalib sampai yang memusuhi khalifah Ali bin abi Thalib. Dari beberapa aliran yang memiliki penafsiran berdasarkan ideology mereka adalah:
a. Sunni atau ahlu al-sunnah wa al-jamaah.
b. Syiah contoh kitabnya
At-Tibyan karya at-Thuusiy.
Al-Ashifiy karya Muhammad bin Murtadha
Al-Burhan karya al-Bahraniy.
Al-Mu’allif karya al-Husainiy.
Tafsir Al-Qur’an karya al-‘Alawiy.
c. Mu’tazilah contoh kitabnya
Fathul Qadir karya asy-Syaukaniy.
Kitab Tafsir al-Kabir dan Kitab Tafsir as-Shaghir karya al-Muradi
Tafsir Ghariibul-Qur’an karya Imam Zaid bin Ali bin Yazid
a. contoh kitabnya
Tafsir Abdurrahman bin Rustum al-Farisiy
Tafsir abi Ya’qub al-Warjalaaniy.
Daa’il-‘Amal lii al-Yaumi al-Amal. Karya Muhammad bin Yusuf Athfaisy
4. Berdasarkan pendekatan atau orientasinya.
Merupakan sekumpulan dari Mabadi’ (dasar pijakan), pemikiran yang jelas yang tercakup dalam satu teori dan yang mengarah pada satu tujuan. (M. Syarif Ibrahim).
Yang dimaksud di sini adalah arah penafsiran yang menjadi kecenderungan mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dari kecenderungan-kecenderungan ini, muncullah aliran-aliran tafsir, semisal Tafsir al-Fiqhi, I’tiqadi, dll.
a. Lughawi/ Adabi
Yaitu Penafsiran yang menitik beratkan pada aspek bahasa. Contoh : al-Kasyyaf karya az-Zamakhsari.
b. Tafsir al-Fiqhi
Yaitu Penafsiran yang titik sentralnya pada bidang hukum / fiqih.
Contoh ; Al-Jaami’ul-Ahkam karya Al-Qurthubi.
c. Tafsir Shufi
Yaitu Penafsiran yang kajiannya menitik beratkan pada unsur-unsur kejiwaan. Contoh : At-Tafsir al-Mansub karya Ibnu ‘Arabi.
d. ‘Ashri / Ilmi
Yaitu Tafsir Al-Qur’an beraliran modern / ilmiah, dengan titik sentral pada ilmu pengetahuan umum, terutama melalui Ayat-ayat kauniyah (alam fisika). Contoh : Al-Jawaahir karya Thantawi Jauhari.
e. Tafsir Ijtima’iy
Yaitu Penafsiran yang melibatkan kenyataan sosial yang berkembang di masyarakat. Contoh ; Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha & Muhammad Abduh.

KESIMPULAN
Para mufasir yang mempunyai kecenderungan tersendiri dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an itu akan menimbulkan aliran-aliran tafsir al Qur’an. Diantaranya seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa tafsir-tafsir al-Quran yang telah muncul di hadapan kita merupakan pembiasan dari background kehidupan mufasir itu sendiri dalam menguliti isi daripada kandungan al-Quran.
Menurut Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA bahwa aliran tafsir al Qur’an ada tujuh yakni: tafsir lughawi / adabi, al fiqhi / ahkam, shufi / isyari, I’tizali, syi’i / bathini, aqli / falsafi, ilmi / ashri. Sedangkan menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, aliran (corak) tafsir ada: corak fiqhiy, shufiy, ilmiy, bayan, falsafiy, adabiy, ijtima’iy.

BAB IV
TAFSIR MAWDHU’IY
A. Pengertian
Menurut bahasa, mawdhu’i berarti yang diletakkan, yang dibicarakan, yang dihinakan, yang didustakan, yang dibuat-buat dan yang dipalsukan. Dari kata ini pula diambil istilah hadits maudhu’, hanya saja berbeda dalam pengambilan artinya. Mawdhu’i untuk tafsir mengambil arti “yang dibicarakan” yang bersinonim dengan judul, topik, atau sektor sedangkan mawdhu’ untuk hadits mengambil arti “yang didustakan” atau yang dibuat-buat/dipalsukan.
Menurut istilah, pengertian Tafsir Mawdhu’i, sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Abd. al-Hayy al-Farmawi adalah : Mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik/judul/sektor tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan hukum.
Dengan demikian, Tafsir Mawdhu’i adalah tafsir yang membahas ayat-ayat al-Qur’an mengenai topik atau tema tertentu yang telah ditetapkan dengan memperhatikan kronologis ayat yang dihimpunnya beserta asbab al-nuzul yang mengiringinya dan dijelaskan dengan rinci dan tuntas yang didukung oleh dalil dan fakta ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan baik yang berasal dari al-Qur’an maupun dari hadits dan pemikiran rasional. Sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Melihat bentuknya, tafsir maudhu’i ini ada dua bentuk, yakni : Pertama, pembahasan mengenai suatu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang utuh dan cermat, sebagaimana ditempuh oleh Muhammad Syaltut dalam kitab tafsirnya. Kedua, adalah menghimpun beberapa ayat dari beberapa surat yang membicarakan masalah tertentu dari berbagai surat Al-Quran dan kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadai pokok bahasannya.
B. Karakteristik Tafsir Mawdhu’i.
Berdasarkan pada definisi yang dikemukakan diatas dan mengarah pada bentuk yang kedua dari metode ini, maka tafsir maudhu’i mempunyai karakteristik atau ciri khas sebagai berikut :
 Pembahasan dipayungi oleh tema sentral yang telah ditetapkan sebelumnya.
 Pembahasan didasarkan atas sejumlah ayat dari berbagai surat dalam al-Qur’an.
 Pembahasan didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an secara kronologis masa turunnya, tidak berdasarkan urutan ayat dan surat yang tersusun dalam mushhaf.
C. Tata Kerja Metode Mawdhu’i
Pada tahun 1977, Prof. Dr. Abd. al-Hayy al-Farmawiy, yang juga menjabat guru besar pada Fakultas Ushuluddin al-Azhar menerbitkan buku Al-Bidayah Fi al-Tafsir al-Mawdhu’iy dengan mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu’iy. Langkah-langkah tersebut adalah:
1) Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik/tema/ mawdhu’);
2) Menghinpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
3) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya;
4) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
5) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out line);
6) Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan;
7) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkrompromikan antara yang am (umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya pertentangan, sehingga kesemunya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.
D. Keistimewaan metode tafsir mawdhu’iy
Beberapa keistimewaan metode ini antara lain:
1) Menghindari problem atau kelemahan metode lain;
2) Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan Al-Quran;
3) Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk Al-Quran tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Juga dengan metode ini, dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh Al-Quran bukan bersifat teoretis semata-mata dan atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat Al-Quran tentang berbagai problem hidup disertai jawaban-jawabannya. Ia dapat memperjelas kembali fungsi Al-Quran sebagai kitab suci. Dan dapat membuktikan keistimewaan Al-Quran.
4) Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Al-Quran. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
E. Kelemahan metode tafsir mawdhu’iy
Kekurangan metode ini antara lain :
1) Memenggal ayat al-Qur’an : Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
2) Membatasi pemahaman ayat : Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut.

F. Perbedaan metode tafsir mawdhu’iy dengan metode tafsir lainnya
a) Perbedaan metode tafsir mawdhu’iy dengan metode tafsir tahlily
Yang dimaksud dengan metode tahlily adalah “penjelasan tentang arti dan maksud Al-Quran dari sekian banyak seginya yang ditempuh oleh mufasir dengan menjelasskan ayat demi ayat sesuai urutannya di dalam mush-haf melalui penafsiran kosakata, penjelasan sebab nuzul, munasabah, serta kandungan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir itu”.
Metode tersebut jelas berbeda dengan metode mawdhu’iy, perbedaan tersebut antara lain:
1. Mufasir mawdhu’iy, dalam penafsirannya, tidak terikat dengan susunan ayat dalam mush-haf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat atau kronologi kejadian, sedang mufasir tahlily memperhatikan susunan sebagaimana tercantum dalam mush-haf.
2. Mufasir mawdhu’iy tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh satu ayat, tapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang ditetapkannya. Sementara para mufasir tahlily berusaha berbicara menyangkut segala sesuatu yang ditemukannya dalam setiap ayat. Dengan demikian mufasir mawdhu’iy, dalam pembahasannya, tidak mencantumkan arti kosakata, sebab nuzul, munasabah ayat dari sistematika perurutan, kecuali dalam batasan yang dibutuhkan oleh pokok bahasannya. Mufasir tahlily berbuat sebaliknya.
3. Mufasir mawdhu’iy berusah untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok bahasannya. Mufasir tahlily biasanya hanya mengemukakan penafsiran ayat-ayat secara berdiri sendiri, sehingga persoalan yang dibahas tidak tuntas, karena ayat yang ditafsirkan seringkali ditemukan kaitannya dalam ayat lain pada bagian lain surat tersebut, atau dalam surat yang lain.

b) Perbedaan metode tafsir mawdhu’iy dengan metode tafsir ijmaly
1. Tafsir ijmaly berkaitan dengan penjelasan ayat secara global menurut tertib mush-haf, sedang tafsir mawdhu’iy menerangkan satu topik dari berbagai ayat.
2. Tafsi ijmali menerangkan ayat tidak sampai tuntas, apalagi menuntaskan kasus tertentu, sedang tafsir mawdhu’iy dapat menuntaskan kasus dari berbagai ayat tanpa menghiraukan tertib mush-haf .
c) Perbedaan metode tafsir mawdhu’iy dengan metode tafsir maqarin
Yang dimaksud metode maqarin adalah “ menbandingkan ayata-ayat Al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama. Termasuk dalam objek pembahasan ini adalah membandingkan ayat-ayat Al-Quran dengan hadis-hadis Nabi saw., yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat Al-Quran.
Mufasir yang menempuh metode ini tidak mengarahkan pandangannya kepada petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat yang dibandingkannya itu, kecuali dalam rangka penjelasan sebab-sebab perbedaan redaksional. Sementara dalam metode mawdhu’iy, mufasir, disamping menghimpun semua ayat yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, ia juga mencari persamaan-persamaan, serta segala petunjuk yang dikandungnya, selama berkaitan dengan pokok bahasan yang ditetapkan.
KESIMPULAN
Menurut bahasa, mawdhu’i berarti yang diletakkan, yang dibicarakan, yang dihinakan, yang didustakan, yang dibuat-buat dan yang dipalsukan
Tafsir Mawdhu’i adalah : Mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik/judul/sektor tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan hukum.
tafsir maudhu’i ini ada dua bentuk
Pertama; pembahasan mengenai suatu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang utuh dan cermat, sebagaimana ditempuh oleh Muhammad Syaltut dalam kitab tafsirnya.
Kedua; adalah menghimpun beberapa ayat dari beberapa surat yang membicarakan masalah tertentu dari berbagai surat Al-Quran dan kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasannya.
Karakteristik Tafsir Mawdhu’i
1. Pembahasan dipayungi oleh tema sentral yang telah ditetapkan sebelumnya.
2. Pembahasan didasarkan atas sejumlah ayat dari berbagai surat dalam al-Qur’an.
3. Pembahasan didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an secara kronologis masa turunnya, tidak berdasarkan urutan ayat dan surat yang tersusun dalam mushhaf.
Tata Kerja Metode Mawdhu’i
Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik/tema/ mawdhu’);
2) Menghinpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
3)Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya;
4)Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
5)Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out line);
6)Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan;
7) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkrompromikan antara yang am (umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya pertentangan, sehingga kesemunya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.




























BAB V
RIJAL AT-TAFASIR
PEMBAHASAN
1. Pengertian Rijal al-Tafsir
Secara bahasa arti Rijal adalah tokoh, sedangkan arti al-Tafsir menurut bahasa ialah penjelasan. Jadi, pengertian Rijal al-Tafsir adalah Tokoh-tokoh tafsir .
2. Perkembangan Tafsir
Secara global, sebagian ahli tafsir membagi periodesasi penafsiran al-Qur’an kedalam tiga fase: periode mutaqaddimin (abad 1-4 H), periode mutaakhkhirin (abad 4-12 H), dan periode baru (abad 12-sekarang). Ada pula mufasir yang memilahnya kedalam beberapa fase yang lebih banyak seperti yang dilakukan oleh Syaikh Ahmad Mustafa al-Maraghi yang membedakan thabaqat al-mufasirin dalam tujuh tahapan: (i) tafsir masa sahabat; (ii) tafsir masa tabi’in; (iii) tafsir masa penghimpunan pendapat para sahabat dan tabi’in; (iv) tafsir generasi Ibn Jarir dan kawan-kawan yang mulai melakukan penulisan penafsirannya; (v) tafsir generasi mufassir yang sumber penafsirannya mengabaikan penyebutan rangkaian (sanad) periwayatan; (vi) tafsir masa kemajuan peradaban dan kebudayaan islam yang oleh al-Maraghi disebut-sebut sebagai ‘ashr al ma’rifah al-Islamiyah; (vii) tafsir masa penulisan, transliterasi, dan penerjemahan al-Qur’an kedalam berbagai bahasa asing.
Selain dari pada itu ada pula yang membagi periode perkembangan tafsir itu bisa ditinjau dari segi kodifikasinya. Dalam konteks ini, setidaknya ada tiga periode besar sejarah penafsiran al-Qur’an.
Periode pertama adalah masa nabi Muhammad saw, sahabat, dan permulaan masa tabiin. Ketika itu, tafsir belumlah tertulis. Periwayatan tempo itu terjadi dalam bentuk oral alias masih tersebar secara lisan.
Periode kedua dimulai seiring dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99-101 H). Pada periode ini tafsir sudah mulai ditulis berbarengan dengan penulisan hadis. Sebagaimana halnya hadis, tafsir juga dihimpun berdasarkan bab dan penafsiran yang ditulis pada umumnya adalah Tafsir bil Ma’sur.
Periode ketiga dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri. Sementara ahli tafsir, Quraish Shihab, menduga periode ini dimulai dari al-Farra’ (w. 207 H) dengan kitabnya yang berjudul Ma’ani al-Qur’an.
3. Generasi Mufasir
A. Periode Klasik
Periode klasik ini mengacu pada pemetaan Muhammad Husain adz-Dzahabi dalam at-Tafsir wa al-Mufassirun, yang diperkuat dengan Manna’ al-Qattan dalam Mabahis fi Ulumu al-Qur’an. Keduanya membagi periode tafsir al-Qur’an menjadi tiga tahap :
1. Tafsir al-Qur’an masa Nabi saw dan sahabat
2. Tafsir al-Qur’an masa tabi’in, dan
3. Tafsir al-Qur’an pada masa kodifikasi (pembukuan)
Tafsir al-Qur’an pada masa klasik mencakup masa Nabi saw, sahabat, dan tabi’in, masa kodifikasi (pembukuan) dan dengan kata lain, periode klasik merentang dari masa Rasullah saw sampai dengan abad ke-8 Hijriyah
Periodesasi ini juga bertumpu pada kategorisasi sejarah Islam yang dicetuskan Harun Nasution dalam Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Menurutnya, periode klasik dimulai dari tahun 650 hingga 1250 M. Permulaan ini merujuk pada tahun hijrah Nabi Muhammad saw dari Mekkah ke Madinah.
Seandainya kita diminta untuk menghitung jumlah mufasir yang telah menafsirkan al-Qur’an, tentu akan kesulitan. Sebab, kegiatan penafsiran al-Qur’an sudah berlangsung semenjak al-Qur’an diturunkan. Artinya Nabi Muhammad saw. juga disebut sebagai seorang mufasir. Karena al-Qur’an menegaskan bahwa tugas utama Nabi Muhammad adalah menyampaikan muatan al-Qur’an dan diberi otoritas untuk menerangkan atau menafsirkan al-Qur’an. Seperti dijelaskan dalam al-Qur’an.
       ••     
Artinya : “keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (Q.s Al-Nahl : 44)
              
Artinya : “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (Q.s al-Nahl : 64)
Jelaslah bahwa ayat al-Qur’an di atas memerintahkan Nabi Muhammad saw. Supaya menyampaikan, membaca, menghafal, dan menafsirkan al-Qur’an. Beliau melakukan kegiatan penafsiran dalam pengertian yang sederhana, yakni memahami dan menjelaskan kepada para sahabat. Beliau adalah orang yang pertama yang menguraikan al-Qur’an dan menjelaskan kepada sahabatnya.
Bentuk penafsiran Rasulullah terhadap al-Qur’an itu kadang berbentuk sunnah qauliyah, sunnah fi’liah, dan terkadang berwujud sunnah taqririyah. Ibnu Khaldun dalam mukadimahnya mengemukakan “Rasulullah menjelaskan makna al-Qur’an secara umum, membedakan ayat-ayat yang nasikh dan mansukh, kemudian memberitahukan kepada para sahabat, sehingga mereka memahami sabab musabab turunnya ayat dan situasi yang melingkupinya”. Penafsiran nabi ini kemudian di simak dan di wariskan kepada generasi sesudahnya melalui periwayatan hadis, yang kelak disebut dengan istilah at-tafsir an-nabawi.
Generasi mufasir pasca-Nabi adalah para sahabat. Tokoh-tokoh mufasir masa sahabat dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari popularitasnya, mufasir yang termasyhur ada sepuluh orang, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin al-Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair. Adapun tokoh yang tidak begitu tersohor ada enam orang, yaitu Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin al-Ash, dan Aisyah.
Jika ditinjau dasi segi intensitas dan kuantitas, jajaran sahabat yang paling banyak menafsirkan al-Qur’an ada empat, yaitu , Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Ubay bin Ka’ab. Sementara itu sahabat yang penafsirannya relatif sedikit ada dua belas orang, yaitu Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin al-Khattab, Usman bin Affan, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin al-Ash, dan Aisyah.
Generasi pasca-sahabat adalah tabi’in. pada generasi ini para mufasir terbagi dalam aliran Mekah, aliran Madinah, dan aliran Irak. Di Mekah terdapat beberapa mufasir, antara lain, Mujahid bin Jabr (w. 103 H), Sa’id bin Jubair (w. 94 H), Ikrimah bekas budak Ibnu Abbas (w. 105 H), Thawus bin Kisan al-Jamani (w. 106 H), dan Atha’ bin Rabbah al-Maliki (w. 114 H).
Seperti halnya di Mekah di madinah pun terdapat beberapa mufasir, diantaranya seperti Abdurrahman bin Zaid (w. 182 H), Malik bin Annas (w. 179 H), al-Hasan al-Bishri (w. 121 H), Atha’ bin Abi Muslim al-Hurani (w. 135 H), Muhammad bin Ka’ab al-Qirazi, Abu al-Aliyah Rafi’ bin Mihram ar- Rayahi (w. 90 H), ad-Dhahhak bin Muzahim (w. 105 H), Athyiyyah bin sa’id al-Aufi (w.111 H), Qatadah bin Di’amah as-Sadusi (w. 117 H), ar-Rabi’ bin Anas (w. 139 H), Ismail bin Abdrrahman as-Suddi (w. 127 H), dan lain sebagainya.
Untuk mufasir yang berada di Irak itu diantaranya, Alqamah bin Qais (w.102 H), al-Aswad bin Yazid (w. 75 H), Ibrahin an- Nakha’I (w. 95 H), dan asy-Sya’bi (w. 105 H). Setelah masa tabi’in, tongkat estafet penafsiran al-Qur’an di pegang oleh generasi tabi’it tabi’in. Mereka mengumpulkan semua pendapat dan penafsiran al-Qur’an generasi terdahulu, kemudian menuangkannya dalam kitab-kitab tafsir. Diantara para mufasir dari kalangan tabi’it tabi’in itu adalah Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), rauh bin Ubadah al-Basri (w. 205 H), Abdurrazak bin Hammam (w. 211 H), Adam bin Abu Iyas (w. 220 H), Waki’ bin al-Jarrah (w. 197 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H), Yazid bin Harun as-Sulami (w. 177 H), Abd bin Hamid (w. 249 H), dan lain-lain.
Setelah masa tabi’it tabi’in maka perkembangan mufasir pada periode klasik ini semakin maju, itu ditandai dengan dimulainya pembukuan mengenai tafsir al-Qur’an, di antaranya adalah : Tafsir Abu Hamzah Tsumali karya Abu Hamzah Tsumali pada Abad ke-2 H, Anwarut-Tartil wa Asraut-Ta'wil karya Abdullah bin Umar Baidhawi Abad ke-8 H, Tajut-Tarajim fi Tafsiri al-Quran lil A'ajim karya Abu Mudhaffar Syahfur bin Thahir bin Muhammad Asfarayani pada Abad ke-5 H, Tafsir Al-Kasysyaf wa al-Bayan karya Abu Ishaq Ahmad bin Ibrahim ats-Tsa’laby an-Naisaburi, pada abad ke-4 H, Tafsir ath thabari karya Al Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Ath Thabari pada abad ke-3 H, Tafsir al-Qurtubi karya Imam Abu Abdillah, Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Ibn Farrah al-Ansari, al-Khazraji, al-Andalusi, al-Qurtubi abad ke-6 H, Tafsir Mafatih al-Ghaib (Tafsir al-Kabir ) karya Imam Fakhr al-Din, Muhammad bin ‘Umar al-Razi pada abad ke-5 H, Tafsir Ibnu Katsir karya Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir pada abad ke-7 H. dan lain sebagainya.
B. Periode Pertengahan
Yang dimaksud dengan generasi mufasir generasi mufasir pertengahan adalah mufasir yang menulis tafsir semenjak abad ke-9 M hingga abad ke-20 M. menurut kategorisasi Harun Nasution, periode pertengahan dimulai sejak 1250 M hingga 1800 M.
Penting kita ketahui bahwa periode pertengahan termahsyur sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan. Kendatipun begitu, geliat tafsir pada periode ini bukannya tanpa cela. Dimasa ini sering terpercik api kontroversi antar ulama dari berbagai disiplin ilmu. Dampak psikologis dari ketegangan itu adalah merebaknya persaingan ketat diantara mereka untuk meraih simpati masyarakat maupun pemerintah. Mereka berlomba-lomba untuk mengklaim bahwa kebenaran ada dipihaknya. Untuk itu, mereka mencari legitimasinya dari al-Qur’an. Inilah embrio dari tafsir zaman pertengahan yang sarat dengan kepentingan subjektif (ideologis) mufasirnya.
Kita tidak akan berpanjang hal ihwal ini. Yang jelas, pada periode pertengahan ini telah lahir para mufasir dengan hamparan kitab tafsirnya yang masih bisa kita pelajari hingga saat ini. Nampaknya cukup relevan kalau sekilas kita menyoroti sosok mufsir periode pertengahan, spesifikasi keilmuan, dan kecendrungan alirannya.
Al-Zamakhsyari merupakan pakar bahasa dan sastra yang beraliran muktazilah. Al-Farra’ adalah maestro bahasa, Ibnu Jarir at-Thabari sangat mumpuni dibidang hadis dan sejarah. Fakhruddin ar-Razi dan al-Baidhawi adalah pakar filsafat berhaluan teologi Asy’ariyah. Ilkiya al-Harasi adalah ahli fikih dari mazhab Syafi’i.
Tokoh-tokoh tasawuf praktis dikomandani oleh mufasir besar, yakni al-Alusi yang mendukung Tarekat Naqsyabandiyah. Mulla Muhsin ar-Rasyi dan Abu Ali ath-Thabrasi mewakili Syiah. Imam asy-Syaukani berasal dari aliran Syiah Zaidiyah. Dari jajaran kisah atau atsar ada Ibnu Katsir, ats-Tsalabi dan Abdurrahman ats-Tsalibi. Dari gerbong ahli satra muncul nama Abu Hayyan, Jalaluddin al-Mahalli, an-Naisaburi, al-Qadhi Abdul Jabbar, dan lain-lain. Kecuali itu, masih banyak mufasir yang menguasai disiplin ilmu tertentu.
C. Periode Kontemporer
Maksud “kontemporer” disini adalah zaman yang sedang berlangsung sekarang. Memacu pada pemetaan Harun Nasution, periode kontemporer (yang disebut juga periode modern) berlangsung selepas tahun 1800 M sampai sekarang. Periode ini disebut-sebut dengan zaman kebangkitan Islam.
Generasi mufasir kontemporer beranggapan bahwa kitab-kitab tafsir dimasa lampau lebih menyibukkan diri untuk menggeluti wilayah kebahasaan. Para mufasir belum maksimal untuk memfungsikan al-Qur’an sebagai petunjuk. Karena itu, uraian penafsiran mereka masih terasa sangat dangkal.
Bertolak dari keprihatinan tersebut, gerasi mufasir kontemporer menciptakan terobosan-terobosan baru dalam menafsirkan al-Qur’an. Bagi mereka al-Qur’an bukanlah wahyu yang “mati” sebagaimana yang difahami oleh mufasir sebelulmnya, melainkan sesuatu yang “hidup” dan terus berkomunikasi dengan zaman. Beberapa mufasir yang tergabung dalam generasi mufasir kontemporer misalnya Muhammad Abduh, Rasyid Ridaha, Mahmud Abbas al-Aqqad, Abu al-A’la al-Maududi, Muhammad Abu Zahrah, Mahmud Syaltut, Aminah Wadud Muhsin, Riffat Hasan, Asghar Ali Engineer, Hassan Hanafi, dan sebagainya.
Sebenarnya, sosok mufasir tidak hanya monopoli insan-insan dari Timur Tengah. Dari daratan indonesiapun telah lahir para mufasir handal. Karenanya, kita perlu juga menyisir perkembangan tafsir di indonesia sekaligus para mufasirnya. Munculnya para mufasir nusantara ini sebenarnya beriringan dengan masuknya Islam ke Indonesia. Hanya saja, mufasir tempo itu belum mendokumentasikan produk penafsirannya dalam bentuk buku. Biasanya, mufasir juga seorang dakwah yang menyebarkan Islam. Karena itu, hasil penafsiran mereka hanya berkembang secara lisan. Pada pertengahan abad ke-17, tampil seorang mufasir yang membukukan hasil tafsirnya. Menurut Abubakar Aceh dalam sejarah al-Qur’an, dia adalah Abdurrauf Singkel yang menyalin Tafsir al-Baidawi ke dalam bahasa melayu. Karya tersebuttenar dengan judul Tarjuman al-Mustafid. Akan tetapi, menurut sebuah penelitian mutakhir ditemukan bahwa kitab Tarjuman al-Mustafid merupakan salinan dari Tafsir al-Baidawi.
D. Data Mufasir yang Mashur di Zamannya dari Abad 1 – sekarang
1. Mufasir pada abad ke-1 ialah Ibnu Abbas, Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf al-Quraisy al-Hasyimi. Penafsiran Ibnu Abbas kemudian dihimpun dan diracik secara sistematis oleh Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al-Faruzabadi yang diberi judul Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas.
2. Mufasir pada abad ke-2 ialah Ibnu Jarir at-Thabari. Nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib at-Thabari. Karyanya dalam bidang ilmu tafsir yang termashur adalah Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an.
3. Mufasir pada abad ke-3 ialah Sahal bin Abdullah at-Tusturi. Karyanya dalam bidang ilmu tafsir yang termashur adalah Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, namun lebih dikenal dengan Tafsir at-Tusturi.
4. Mufasir pada abad ke-4 ialah Abu Ishaq Ahmad bin Ibrahim ats-Tsa’laby an-Naisaburi, Karyanya dalam bidang ilmu tafsir yang termashur adalah Tafsir Al-Kasysyaf wa al-Bayan.
5. Mufasir pada abad ke-5 ialah az-Zamakhsyari. Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Khawarizmi az-Zamakhsyari. Karyanya dalam bidang ilmu tafsir yang termashur adalah Tafsir al-Kasyaf.
6. Mufasir pada abad ke-6 ialah Imam Baidhawi. Nama lengkapnya Imam Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ali Asyairozi Abu Sa’id Abu al-Khoiri Nashirudin al-Baidhawi. Karyanya dalam bidang ilmu tafsir yang termashur adalah Tafsir al-Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil yang tersohor dengan nama Tafsir Baidhawi.
7. Mufasir pada abad ke-7 ialah Imam an-Nashafi. Nama lengkapnya Abdullah bin Ahmad bin Mahmud an-Nashafi. Karyanya dalam bidang ilmu tafsir yang termashur adalah Madarik at-Tanzil wa Haqa’iq at-Ta’wil. Selain an-Nashafi terdapat juga mufasir yaitu Ibnu Katsir. Nama lengkapnya Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir. Karyanya dalam bidang ilmu tafsir yang termashur adalah Tafsir al-Qur’an al-Karim yang masyhur dengan sebutan Tafsir Ibnu Katsir.
8. Mufasir pada abad ke-8 ialah Jalaluddin al-Mahalli dengan nama lengkapnya Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Ahmad al-Imam al-Allamah Ahmad Jalaluddin al-Mahalli. Karyanya dalam bidang ilmu tafsir yang termashur adalah Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, namun kitab ini belum disempurnakan sehingga disempurnakan oleh muridnya Jalaluddin as-Syuyuti (Abdurrahman bin Kamal Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiq ad-din bin Fakhr Usmanbin Nashihuddin Muhammad bin Imamuddin al-Hamam al-Khudairy as-suyuthi) yang kemudian yang dikenal dengan kitab Tafsir Jalalain.
9. Mufasir pada abad ke-9 ialah Abu as-Su’ud dengan nama lengkap Abu as-Su’ud Muhammad bin Muhammad bin Musthafa al-Amadi. Karyanya dalam bidang ilmu tafsir yang termashur adalah Irsyad al-‘Aql as-Salim ila Mazaya al-Qur’an al-Karim.
10. Mufasir pada abad ke-10 ialah Abdurrauf Singkel, dengan nama lengkapnya Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili. Karyanya dalam bidang ilmu tafsir yang termashur adalah Tarjuman al-Mustafid.
11. Mufassir pada abad ke-11 Muhammad Thahir Ibnu Asyur. Karyanya dalam bidang ilmu tafsir yang termashur adalah Tafsir al-Kitab al-Majid.
12. Mufasir pada abad ke-12 ialah Muhammad Abduh. Nama lengkapnya Muhammad Abduh bin Hasan Khairullah. Karyanya dalam bidang ilmu tafsir yang termashur adalah Tafsir al-Qur’an al-Hakim.
13. Mufasir pada abad ke-13 ialah Muhammad Rasyid Ridha. Nama lengkapnya Sayid Muhammad Rasyid bin Ali bin Ridha bin Muhammad Syamsuddin al-Qalamuni. Karyanya dalam bidang ilmu tafsir yang termashur adalah Tafsir al-Manar.
14. Mufasir pada abad ke-14 ialah Muhammad Amin Asy-Syanqithi. Nama lengkapnya Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Jukni asy-Syanqthi. Karyanya dalam bidang ilmu tafsir yang termashur adalah Tafsir Adwa al-Bayan.
15. Mufasir pada abad ke-15 ialah Muhammad Quraish Shihab. Karyanya dalam bidang ilmu tafsir yang termashur adalah Tafsir al-Misbah.
E. Idiologi Mufassir
a. Mufassir Syi’ah: Tokohnya adalah Abu Hamzah Tsumali, kitabnya yaitu: Tafsir Abu Hamzah Tsumali.
b. Mufassir Sunni: Tokohnya adalah: Jalaluddin al-Mahalli dengan kitab Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, dan disempurnakan sehingga disempurnakan oleh muridnya Jalaluddin as-Syuyuti yang kemudian yang dikenal dengan kitab Tafsir Jalalain.
Mufassir Mu’tazilah: Tokohnya adalah: al-Zamakhsyari. Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Khawarizmi az-Zamakhsyari. Karyanya dalam bidang ilmu tafsir yang termashur adalah Tafsir al-Kasyaf.
















KESIMPULAN
Al-qur’an laksana intan permata yang setiap ujungnya memancarkan cahaya yang berkilauan. Ilustrasi ini memberikan pengertian bahwa al-Qur’an merupakan mata air yang mengilhami berjilid-jilid kitab tafsir, menggunakan beragam metode dalam menafsirkan al-Qur’an. Keragaman cara menafsirkan al-Qur’an tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari keilmuan mufasir. Karena itu, wajar jika kita menemukan berbagai corak kitab tafsir, seperti corak bahasa, sastra, fikih, sosial-kemasyarakatan, dan sebagainya.
Fenomena itulah yang melandasi kepada kita betapa penting mempelajari khazanah ilmu-ilmu keislaman. Pemilihan mufasir didasarkan pada popularitas mereka berikut karya tafsirnya, terlepas apakah tafsir itu utuh atau tidak. Kriteria lainnya adalah mufasir tersebut salah satu representasi salah satu generasi mufasir, yakni generasi klasik, pertengahan, dan kontemporer dengan mengacu pada studi mazahibut tafsir (mazhab-mazhab tafsir).


















DAFTAR PUSTAKA
1. Abd al Hay al Farmawi, muqaddiamah fi al tafsir al maudhu’I (Kairo: al hadharah, 1977)
2. Abu Hayan, Al Bahrul Muhith. Juz I.
3. Abu Zaid.2005. Tekstualitas Al-Qur’an Kritik Terhadap Ulumul Qur’an.Yogyakarta: Lkis.
4. Ahmad Izzan Dr.MA, metodologi ilmu Tafsiri,tafakkur
5. Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Juz I Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
6. Al-Imam Abi Ja’far Muhammad ibn Jarir Al-Tabari, Tafsir Al-Thabari, Juz I Beirut: Dar al-Fikr, 1398/1978.
7. Al-Qurtubi, al-jami’ li Ahkam al-Qur’an, I-IX, Mesir: Dar al-Sya’ab, tt.
8. Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil (T.kt: Intisyarat Aftab, t.th. )
9. Amin Ghofur, Saiful, 2008. Profil Para Mufasir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
10. Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, jakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
11. David. The Concise Oxford French Dictionary.
12. Dr. M. Qurais sh, Membumikan Al-Quran. Penerbit Mizan,Bandung
13. DR. Muhammad Husain Adz Dzahabi, At Tafsir wa Al Mufassirun.
14. Dr. Subhi As-Shalih, mabahis fi ulumil Quran Penerbit Pustaka Firdaus, Jakarta
15. Dzahabi, Muhammad Husain adz-. 1961. Al-Tafsir wa al-Mufasirun. Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah.
16. Ensiklopedia juz 5 (Ulumul Qur’an) volum II no. 5 s/d 9.
17. Farmawiy, ‘Abd Al-Hay Al-, Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’iy, cetakan II, Kairo, Al-Hadharah Al-‘Arabiyyah, 1977.
18. Ilyas Hamim, 2004. Studi Kitab Tafsir. Yogyakaarta: Teras.
19. Ilyas, Hamim, 2004. Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta: Teras & TH Pres.
20. Izzan Ahmad, 2007. Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur.
21. Jalaludin Al-Syayuti. 1997. Al-Itqān Fī Ulữm Al-Qur’an. Libanon: Bairut. Juz 2.
22. Mana’ Al-Qatthan,2002. Mabǎhis Fī Ulǔm Al-Qur’an. Kairo: Maktaabah Wahbah.
23. Manna’ Al-Qatthan. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
24. Muhaimin, Dr, kawasan dan wawasan studi islam, Jakarta: kencan, 2005.
25. Muhammad abu salma www.islam hous.com
26. Muhdlor, Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab- Indonesia. Yogyakarta:Multi Karya Grafika.
27. Muin Salim MA Prof.Dr, Metodologi Ilmu Tafsir, teras, yogyakarta
28. Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressef, 1997.
29. Nasir, M. Ridlwan, MA, Memahami Al-Qur’an, Surabaya: Indra Media, 2003.
30. Prof Dr. H.M. Ridlwan Nasir, MA, Memahami Al-Qur’an, (Surabaya: Indra Media, 2003)
31. Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA, Pembagian Tafsir Kontemporer (Aliran Tafsir).
32. Prof. Dr. H. M Ridlwan Nasir MA.Memahami Al Qur’an Pespektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin
33. Said Aqil Husain al-Munawwar (kata pengantar-Ali Hasan al-aridl), Sejarah dan Metodologi tafsir, tarj. Ahmad Akrom (Jakarta: Rajawali Press, 1992).
34. Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992.
35. Subhi al-Salih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Ilm lil al-Malayin, cet. VII, 1972.
36. Syaikh Manna’ Khalil Al Qattan, Mabahits fi Ulum Al Qur’an.
37. Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuni.
38. Syaikh Tsana’ullah Al Hindi, Tafsirul Qur’an bikalam Ar Rahman, Daarus Salam Lin Nasyr wat Tawzi’ Cet.I (1423H/2002M), Riyadh.
39. Tim, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
40. Warson Ahmad,2002. Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia.Surabanya:Pustaka Progressif.
41. Widodo. 2002. Kamus Ilmiah Popular, Yogyakarta: Absolute
42. Zuhdi Muhzar,1996. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,Yogyakarta: Multi Karya Grafika.





0 komentar: